Cinta adalah kekuatan. Cinta itu tidak melemahkan. Karena cinta
seseorang mampu mendaki gunung, menyeberangi lautan. Karena cinta
seseorang mampu bertahan dalam Penderitaan. Sepasang kekasih yang saling mencintai, keduanya saling memberikan kekuatan.
Kekasih adalah pembimbing. Ketika seseorang ikhlas mengatakan Allah
adalah kekasihnya, maka Allah akan membimbingnya. Kekasih yang berwujud
manusia pun seharusnya seperti itu, sebagai pembimbing. Jalaluddin Rumi
berkata, “Janganlah menjadi teman setia
nafsu seksual. Hiduplah bersama orang-orang yang memiliki pembimbing
yang benar. Pengayom mereka selalu melindungi.”
Dimanakah Posisi Cinta dan Dimanakah Posisi Birahi?
“Janganlah engkau hanya peduli pada pada wujud-wujud yang tampak, berpusatlah pada yang tersirat di sebaliknya,” ujar Rumi.
Birahi adalah ‘wujud-wujud yang tampak’ dan cinta adalah ‘yang
tersirat di sebaliknya’. Cinta itu dalam, birahi itu dangkal. Dalam
kondisi ketertarikan kepada lawan jenis, ketika seseorang hanya berhenti
pada ‘wujud-wujud yang tampak’ pada seseorang, maka ia sedang
membirahikan seseorang. Dan, ketika seseorang sampai kepada ‘yang
tersirat di sebalik’ seseorang, maka ia sedang mencintai seseorang.
“Adaikata tidak penting untuk melestarikan generasi manusia, Adam
pasti telah mengebiri dirinya sendiri untuk melampaui nafsu birahinya”, lanjut Rumi.
Generasi manusia adalah cinta, karena generasi manusia adalah
kekuatan dunia. Cinta harus diletakkan di atas birahi, bukan sebaliknya
birahi diletakkan di atas cinta.
Ketika cinta diletakkan di atas birahi, cinta itu akan mengendalikan
birahi. Sebaliknya, ketika birahi diletakkan di atas cinta, maka cinta
menjadi lebur, lenyap, dan hilang.
Sudah kodrat manusia memiliki Rasa Cinta dan rasa birahi. Keduanya ibarat harum wangi mawar yang entah bagaimana tetap terpisah dari mawar itu sendiri.
Namun, kalau sekiranya hanya ada birahi dan tidak ada cinta, maka sejak
dahulu Adam pasti telah mengebiri dirinya sendiri untuk membunuh nafsu
birahinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar