Aktivis, kata
yang penuh makna kuat yang disandarkan kepada siapa saja yang memiliki
aktivitas di dalam sebuah komunitas, baik di dalam organisasi atau
lembaga yang dengan keberadaannya untuk memperjuangkan roda organisasi
tersebut. Mereka bekerja tanpa berharap imbalan apapun, kalaupun ada
imbalan maka sifatnya terbatas dan tidak tetap, karena begitulah
aktivis, bukan seorang pegawai. Definisi kata tersebut boleh jadi
berbeda dengan kenyataan, karena memang begitulah dalam memaknai
sesuatu, setiap kita memiliki sudut pandang yang berbeda. Namun dari
sinilah penulis ingin mengawali satu topik yang memang cukup klasik,
namun unik untuk dibicarakan.
Aktivis Mahasiswa, rangkaian kata yang mungkin pas untuk kawan-kawan yang menjadi mahasiswa plus.
Dikatakan plus, karena selain sebagai mahasiswa mereka juga plus
menjadi pemimpin atau anggota dalam organisasi kemahasiswaan, baik di
internal maupun eksternal. Kepemimpinan serta pergerakan di
kemahasiswaan menjadi satu format gerakan ekstra parlementer yang terus
konsisten dan massif mengadakan perlawanan bagi kebijakan pemerintah
yang ke luar dari jalur yang telah ditentukan.
Sebagai Agent of Change, Social control serta Iron Stock, maka
aktivis mahasiswa tidak henti-hentinya terus bergerak dan melakukan
control murni tanpa tendensi apa pun untuk setiap kepentingan rakyat.
Selama ketidakadilan masih berada di bumi yang konon menjadi potret
demokrasi di dunia, maka selama itulah mahasiswa akan menjadi partner
control yang setia mengawal pada setiap kebijakan.
Menghadirkan kembali semangat yang pernah membara
Catatan
panjang sejarah gerakan mahasiswa yang telah menorehkan banyak tinta
perjuangan. Kita juga mungkin masih bisa mengingat kembali bagaimana
gerakan yang luar biasa oleh kawan-kawan mahasiswa `98 untuk
menggulingkan pemerintahan orde baru. Keringat, darah dan air mata,
bahkan nyawa menjadi taruhan mereka untuk melahirkan satu era yang
disebut dengan “era reformasi”. Kalaupun perjuangan itu harus dibayar
mahal dengan terselipnya masa transisi yang cukup panjang dan menguras
otak untuk mengembalikan bangsa ini pada jati dirinya.
Dari pra penggulingan orde baru
sampai pasca orde baru, kemudian masa transisi dan era reformasi
menjadi satu format rapih yang telah disusun oleh para pencetus masa
yang kita nikmati saat ini. Mereka bukan orang sembarangan, deretan nama
dibalik serentetan peristiwa-peristiwa bersejarah tersebut adalah tokoh
muda mahasiswa yang memiliki tingkat intelektualitas yang tidak bisa
diragukan lagi. Sebut saja Amien Rais, tokoh yang menjadi motor
penggerak saat itu bersama kawan-kawan muda yang lain. Ia bukan orang
sembarangan, ia dikenal orang yang sangat kritis dan memiliki tingkat
kecerdasan yang luar biasa, terbukti dengan pengalaman pendidikannya
yang mampu menembus pasar beasiswa di eropa, timur tengah dan Amerika.
Sangat wajar kalau bangsa ini mampu melewati masa-masa transisi yang
sulit, karena tokoh-tokoh muda aktivis mahasiswa berani bertanggung
jawab untuk menentukan nasib bangsa ke depan melalui kapabilitas yang
mereka miliki. Mereka mempertaruhkan eksistensi mereka melalui
intelektualitas.
Tidak sampai
pada nama Amien Rais saja, sederetan nama pun kembali hadir dalam dunia
perpolitikan dan kepemimpinan nasional. Mantan-mantan aktivis mahasiswa
ini seolah hadir dalam waktu yang tepat untuk memberikan solusi
terhadap permasalahan bangsa. Anas Urbaningrum, mantan ketua PB HMI,
Andi Rahmat dan Fahri Hamzah mantan ketua Umum KAMMI Pusat serta
kawan-kawan mantan aktivis mahasiswa di PMII, GMNI, IMM, BEM Nasional,
BEM SI, BEM Nusantara dan masih banyak lagi. Mereka adalah aset yang
sangat luar biasa, yang dapat menunjukan arah eksistensi gerakan
mahasiswa tanpa melupakan unsur intelektualitas.
Inilah
bahan renungan kita (red: Aktivis Mahasiswa) yang telah diberikan satu
anugerah status sebagai seorang aktivis kemahasiswaan. Para pendahulu
kita telah membuktikan bahwa setiap langkah gerakan mereka selalu
melalui pisau analisa yang tajam, tidak hanya sekedar ingin bergerak,
namun gerakan yang memiliki dasar yang kuta yang lahir bukan hanya
sekedar lintasan pikiran tapi proses kajian yang matang. Begitulah Anis Matta dalam bukunya Menikmati Demokrasi.
“Bahtera
yang besar ini membutuhkan nahkoda-nahkoda yang cerdas dan briliant
untuk menerjang samudera yang terhampar luas. Maka, tidak ada lagi
calon-calon nahkoda dalam bahtera ini yang bermalas-malasan dalam
belajar, berprestasi dan bekerja keras, sebab mereka tidak akan jadi
seorang nahkoda yang baik, karena mereka tidak mengetahui arah mata
angin, dan arah mata angin tersebut adalah kesucian hati.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar