MAHASISWA selalu menjadi bagian dari perjalanan
sebuah bangsa. Roda sejarah demokrasi selalu menyertakan mahasiswa sebagai
pelopor, penggerak, bahkan sebagai pengambil keputusan. Hal tersebut telah
terjadi di berbagai negara di dunia, baik di Timur maupun di Barat.
Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu
lahir dari pola pikir para mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali
merepresentasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat.
Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada
penguasa, dengan cara mereka sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bila generasi muda khususnya para
mahasiswa, selalu dihadapkan pada permasalahan global. Setiap ada perubahan,
mahasiswa selalu tampil sebagai kekuatan pelopor, kekuatan moral dan kekuatan
pendobrak untuk melahirkan perubahan. Oleh karena itu kiranya sudah cukup
mendesak untuk segera dilakukan penataan seputar kehidupan mahasiswa tersebut.
Dalam sejarahnya mahasiswa merupakan kelompok dalam
kelas menengah yang kritis dan selalu mencoba memahami apa yang terjadi di
masyarakat. Bahkan di zaman kolonial, mahasiswa menjadi kelompok elite paling
terdidik yang harus diakui kemudian telah mencetak sejarah bahkan mengantarkan
Indonseia ke gerbang kemerdekaannya.
Pergolakan dan perjalanan mahasiswa Indonesia
telah tercatat dalam rentetan sejarah yang panjang dalam perjuangan bangsa
Indonesia, seperti gerakan mahasiswa dan pelajar tahun 1966 dan tahun 1998.
Masih dapat kita ingat 8 tahun yang lalu gerakan mahasiswa Indonesia yang
didukung oleh semua lapisan masyarakat berhasil menjatuhkan suatu rezim tirani
yaitu ditandainya dengan berakhirnya rezim Soeharto. Legenda perjuangan
mahasiswa di Indonesia sendiri juga telah memberikan bukti yang cukup nyata
dalam rangka melakukan agenda perubahan tersebut. Dengan gerakan REFORMASI yang telah berhasil menurunkan Presiden Soeharto dari
kursi kekuasaan dan selanjutnya menelurkan Visi Reformasi yang sampai hari ini
masih dipertanyakan sampai dimana telah dipenuhi.
Dengan demikian adalah sebuah keharusan bagi
mahasiswa untuk menjadi pelopor dalam melakukan fungsi control terhadap
jalannya roda pemerintahan sekarang. Bukan malah sebaliknya.
Agenda reformasi adalah tanggung jawab kita semua
yang masih merasa terpanggil sebagai kaum intelektual, kaum yang kritis dan
memiliki semangat yang kuat. Dan tanggung jawab ini hanya bisa dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai rasa sosial yang tinggi. Bukan orang-orang kerdil
yang hanya memikirkan perut, golongannya dan tidak bertanggung jawab. Hanya
lobang-lobang kematianlah yang mampu menjadikan mereka untuk berpikir
bertanggung jawab. Jangan pikirkan mereka, mari pikirkan solusi untuk menghibur
Ibu Pertiwi yang selalu menangis dengan ulah-ulah anak bangsanya sendiri.
Kondisi
tersebut tidak terlihat lagi pada masa kini, mahasiswa memiliki agenda dan
garis perjuangan yang berbeda dengan mahasiswa lainnya. Sekarang ini mahasiswa
menghadapi pluralitas gerakan yang sangat besar. Meski begitu, setidaknya
mahasiswa masih memiliki idealisme untuk memperjuangkan nasib rakyat di
daerahnya masing-masing.
Mahasiswa
sudah telanjur dikenal masyarakat sebagai agent of change, agent of
modernization, atau agen-agen yang lain. Hal ini memberikan konsekuensi
logis kepada mahasiswa untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan gelar yang
disandangnya. Mahasiswa harus tetap memiliki sikap kritis, dengan mencoba
menelusuri permasalahan sampai ke akar-akarnya.
Dengan
adanya sikap kritis dalam diri mahasiswa diharapkan akan timbul sikap korektif
terhadap kondisi yang sedang berjalan. Pemikiran prospektif ke arah masa depan
harus hinggap dalam pola pikir setiap mahasiswa. Sebaliknya, pemikiran
konservatif pro-status quo harus dihindari.
Mahasiswa harus menyadari, ada banyak hal di negara
ini yang harus diluruskan dan diperbaiki. Kepedulian terhadap negara dan
komitmen terhadap nasib bangsa di masa depan harus diinterpretasikan oleh
mahasiswa ke dalam hal-hal yang positif. Tidak bisa dimungkiri, mahasiswa
sebagai social control terkadang juga kurang mengontrol dirinya sendiri.
Sehingga mahasiswa harus menghindari tindakan dan sikap yang dapat merusak
status yang disandangnya, termasuk sikap hedonis-materialis yang banyak
menghinggapi mahasiswa.
Karena
itu, kepedulian dan nasionalisme terhadap bangsa dapat pula ditunjukkan dengan
keseriusan menimba ilmu di bangku kuliah. Mahasiswa dapat mengasah keahlian dan
spesialisasi pada bidang ilmu yang mereka pelajari di perguruan tinggi, agar
dapat meluruskan berbagai ketimpangan sosial ketika terjun di masyarakat kelak.
Peran dan fungsi mahasiswa dapat ditunjukkan secara
santun tanpa mengurangi esensi dan agenda yang diperjuangkan. Semangat mengawal
dan mengawasi jalannya reformasi, harus tetap tertanam dalam jiwa setiap
mahasiswa. Sikap kritis harus tetap ada dalam diri mahasiswa, sebagai agen
pengendali untuk mencegah berbagai penyelewengan yang terjadi terhadap
perubahan yang telah mereka perjuangkan. Dengan begitu, mahasiswa tetap
menebarkan bau harum keadilan sosial dan solidaritas kerakyatan.
Peran Lembaga Kemahasiswaan cukup signifikan, baik
untuk lingkup nasional, regional maupun internal kampus itu sendiri. Ke depan,
peran strategis ini seharusnya juga dimainkan oleh lembaga-lembaga formal
kampus lainnya seperti pers mahasiswa, atau kelompok studi profesi.
Secara garis besar, menurut Sarlito Wirawan, ada
sedikitnya tiga tipologi atau karakteristik mahasiswa yaitu tipe pemimpin,
aktivis, dan mahasiswa biasa.
Pertama, tipologi mahasiswa pemimpin, adalah individu mahasiswa yang
mengaku pernah memprakarsai, mengorganisasikan, dan mempergerakan aksi protes
mahasiswa di perguruan tingginya. Mereka itu umumnya memersepsikan mahasiswa
sebagai kontrol sosial, moral force dan dirinya leader tomorrow.
Mereka cenderung untuk tidak lekas lulus, sebab perlu mencari pengalaman yang
cukup melalui kegiatan dan organisasi kemahasiswaan.
Kedua, tipologi aktivis ialah mahasiswa yang mengaku pernah aktif
turut dalam gerakan atau aksi protes mahasiswa di kampusnya beberapa kali
(lebih dari satu kali). Mereka merasa menyenangi kegiatan tersebut, untuk
mencari pengalaman dan solider dengan teman-temannya. Mahasiswa dari kelompok
aktivis ini, juga cenderung tidak ingin cepat lulus, namun tidak ingin terlalu
lama. Mereka tidak terlalu memersepsikan diri sebagai leader tomorrow
namun pengalaman hidup perlu dicari di luar studi formalnya. Sudah barang tentu
jumlah mereka itu lebih banyak daripada kelompok pemimpin.
Ketiga, tipologi mahasiswa biasa adalah kelompok mahasiswa
di luar kelompok pemimpin dan aktivis yang jumlahnya paling besar lebih dari
90%. Sesungguhnya cenderung pada hura-hura yaitu kegiatan yang dapat memberikan
kepuasan pribadi, tidak memerlukan komitmen jangka panjang dan dilakukan secara
berkelompok atau bersama-sama. Mereka ingin segera lulus, bahkan tidak sedikit
mahasiswa yang tidak segan-segan dengan cara menerabas (nyontek, membuat
skripsi "Aspal" dan lain-lain) agar segera lulus. Apakah hal ini
merupakan indikator kurangnya dorongan prestatif di kalangan mahasiswa, masih
perlu diteliti.
Fakta
membuktikan, dinamika kehidupan bangsa dan mahasiswa pada umumnya banyak
dimotori oleh tipe pemimpin dan aktivis ini. Meskipun secara kuantitas kecil
tetapi mereka mampu menjadi pendorong dan agen utama perubahan dan dinamika
kehidupan kampus. Sebagian mereka karena telah terlatih menjadi pemimpin dan
aktivis, maka tidak sulit setelah selesai pada akhirnya mereka juga menjadi
pemimpin dan aktivis setelah terjun di masyarakat dan pemerintahan.
Urgensi
bagi daerah
Dilihat
dari segi kualitas maupun kuantitas, para mahasiswa tetap saja merupakan
komunitas elite yang patut diperhitungkan dari dulu dan sampai kini terlebih
bagi suatu daerah. Di daerah, masih relatif sedikit anggota masyarakatnya yang
dapat menyekolahkan sampai tingkat perguruan tinggi. Oleh karena itu,
keberadaan mahasiswa bagi suatu daerah merupakan modal sosial yang luar biasa,
yang dapat dimanfaatkan dan diberdayakan bagi pembangunan suatu daerah. Namun
mahasiswa, dapat juga menjadi suatu "ancaman" bagi pemerintahan suatu
daerah karena dapat bersikap kritis dan mengambil peran sebagai kekuatan
kontrol.
Demikian
juga para mahasiswa harus mulai berorientasi ke daerah bukan lagi ke pusat
karena Pusat selain sudah overload juga menjadi simbol ketimpangan
pembangunan di Indonesia, sehingga diperlukan desentralisasi dan orientasi baru
dalam pembangunan daerah.
Organisasi
kemahasiswaan
Dinamika
kehidupan mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari wadah atau organisasi yang
menjadi instrumen bagaimana gagasan atau program berusaha diwujudkan, baik
organisasi intra maupun ekstra kampus. Organisasi kemahasiswaan intra perguruan
tinggi merupakan wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah
perluasan wawasan dan peningkatan kecendikiawanan serta integritas kepribadian
mahasiswa untuk mewujudkan tujuan pendidikan tinggi.
Mengingat
mahasiswa merupakan bagian dari civitas academica dan sebagai generasi
muda dalam tahap pengembangan dewasa muda, maka dalam penataan organisasinya
disusun berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa dan merupakan subsistem
dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pengalaman
selama ini menunjukkan, perguruan tinggi yang telah berhasil membentuk
organisasi kemahasiswaan sesuai prinsip-prinsip tersebut cenderung akan
diterima oleh para mahasiswa dan memperoleh partisipasi secara optimal. Dengan
demikian, dapat diharapkan bahwa kegiatan kemahasiswaan di perguruan tinggi
maupun antarkampus dapat berjalan dengan lancar.
Perlu
dicatat, dewasa ini kecenderungan organisasi kemahasiswaan yang bernuansa
keilmuan dan profesi yang kegiatannya antar kampus. Bahkan kadang-kadang
berdimensi internasional cukup meningkat. Hal ini, jelas memerlukan uluran
tangan pimpinan perguruan tinggi, baik dalam aspek bimbingan keilmuan maupun
dukungan biaya yang tidak ringan. Keterlibatan ikatan profesi senior mereka dan dunia
usaha, diharapkan dapat menunjang kegiatan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar