Kamis, 06 September 2012

Paradigma Berpikir Mahasiswa dan Masa Depan Bangsa Indonesia


Bangsa Indonesia dengan segala keragaman yang dimilikinya tersusun atas pelbagai lapisan masyarakat –Mulai rakyat biasa sampai kalangan elit-. Mahasiswa menempati posisi mediasi dan interkoneksi antara rakyat dan elit. Namun yang jadi tanda tanya besar saat ini adalah, sudahkah para mahasiswa mengambil peran strategis yang mereka miliki? Jawabannya belum. Lalu, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana bisa hal ini terjadi? Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya terjadi, salah satu faktor penyebabnya adalah pola pikir mahasiswa saat ini yang mulai bergeser dari euforia pergerakan menuju pragmatisme pribadi dan golongan. Hal ini dapat diamati lewat tingkat kecendrungan mahasiswa dalam proses studinya yang semakin academic oriented, terbukti lewat tingkat partisipasi mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang selalu ramai di awal tahun, namun semakin sepi di tahun-tahun berikutnya.
Sebagaimana diketahui bahwa mahasiswa memiliki tiga peran penting dalam menyusun peradaban di bumi ini. Peran-peran tersebut adalah: Agent Of Change, Iron Stock dan Moral Force. Namun, sudahkah semua mahasiswa mengerti dengan triangular role of students ini? Kenyataanya tidak semuanya mengerti akan hal ini. Biaya pendidikan yang semakin melambung akibat kebobrokan birokrasi dan sistem yang dijalankan universitas menjadi poin penting awal dimana kita harus mulai melangkah dalam memahami permasalahan ini. Lalu, hal ini diperparah dengan tuntutan akademis yang semakin padat, sehingga menyebabkan banyak mahasiswa lebih cenderung terfokus pada kegiatan akademiknya saja dan mengenyampingkan hal-hal lain yang bersifat kontributif bagi sesamanya. Hal ini ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan universitas yang mulai “mengkebiri” kegiatan-kegiatan eksekutif kemahasiswaan yang terkadang membuat gerah para pemangku kebijakan di ranah universitas maupun di tingkat nasional.  Mungkinkah dibalik ini semua ada rekayasa yang ingin mereduksi peran strategis mahasiswa, sehingga bangsa ini kehilangan aset-aset strategisnya dan mempu diperbudak oleh political interest tertentu?
Sebagai contoh sederhana antara lain: kebijakan kenaikan BBM, pemilihan rektor UGM tahun ini, rencana pengesahan RUU PT, hancurnya tatanan ekonomi global dsb., tidak digubris oleh kebanyakan mahasiswa. Sebagian besar mahasiswa lebih asyik dengan kegiatan akademiknya demi mendapatkan nilai yang bagus tanpa mau mempedulikan keadaan sekitarnya. Hal ini terbukti dengan sedikitnya jumlah artikel atau karya ilmiah lain yang dikerjakan mahasiswa untuk membantu menjawab masalah tersebut. Kepekaan terhadap orang lain mulai sirna perlahan-lahan dari relung hati mahasiswa. Pragmatis dan apatis menjadi kata-kata yang dirasa paling tepat untuk menggambarkan keadaan mahasiswa pada saat ini.
Paradigma inilah yang menjadi bahaya bagi kehidupan bangsa ini kedepan. Karena, dimungkinkan bagi orang-orang yang telah terpatri dengan paradigma ini, ketika mereka menempati suatu posisi strategis tertentu dalam sebuah sistem, yang ada hanyalah hasrat untuk terus-menerus mempedulikan diri sendiri tanpa memikirkan keadaan orang lain. Apalagi ketika para mahasiswa tersebut, menempati posisi-posisi birokrasi strategis kelak. Mahasiswa tersebut hanya akan jadi penambah kebobrokan birokrasi negeri ini. Bukannya jadi agent of change, tapi malah menjadi agent of congean[1], yang tidak lagi mau mendengarkan suara hatinya untuk memperbaiki keadaan saat ini.
Permasalahan yang dipaparkan di atas, tidak terlepas dari peran universitas yang saat ini –disadari atau tidak- memiliki paradigma berpikir “menyiapkan orang-orang yang siap dipekerjakan bukan menyiapkan orang-orang yang siap berkarya”. Terbukti dengan begitu bangganya universitas-universitas besar yang mampu menghasilkan cetakan-cetakan mahasiswa yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar, namun tidak bangga dengan para mahasiswa yang mau merintis karyanya dari nol. Mahasiswa disiapkan menjadi profesional-profesional yang mampu bekerja, bukan profesional-profesional yang siap berkarya, sehingga akhirnya hanya menjadi kacung saja untuk memperkaya pundi-pundi raksasa para pemegang saham dan pemegang kuasa.
Mahasiswa yang notabene mengenyam pendidikan tinggi saja nyatanya tidak benar-benar terdidik pemikirannya, lalu bagaimana dengan banyaknya rakyat yang tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi? Mahasiswa yang jumlahnya hanya 2%[2] yang seharusnya mampu memberikan sumbangsih positif dalam mencerdaskan dan mengembangkan negeri ini saja sudah dirusak oleh sikap pragmatis dan apatis, bagaimana denga 98% penduduk lainnya? Lalu mau dibawa kemana masa depan bangsa ini? Kalau kita tidak tergerak untuk melakukan perubahan dan mempertahankan status quo ini, maka tunggulah kehancurannya. (RM120317)


“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar Rum: 41)
“Maka, Apakah kamu tidak berpikir?”