Ada sebuah ungkapan yang pernah saya baca; “Orang bodoh hidup untuk makan, namun
orang bijak makan untuk hidup.” Lantas apakah tujuan hidup orang bijak? Apakah
hanya untuk bertahan hidup? Padahal kehidupan bukanlah akhir dan tidak dapat
mengakhiri dirinya sendiri, lantas apa tujuan hidup ini?
Para ahli fikir merumuskan masalah ini dengan 3 pertanyaan dasar; Darimana, kemana, dan mengapa? Artinya, saya darimana,
akan kemana, lantas mengapa saya ada disini?
Bagi mereka yang tidak mempercayai adanya Tuhan,
yakni orang Ateis, hanya yakin terhadap materi yang terindera. Menurut mereka
sesuatu itu ada jika terdeteksi oleh indera, jika tidak maka ia adalah fiksi.
Alam semesta beserta isinya bagi mereka – terjadi begitu saja – kebetulan yang
yang indah. Dan manusia tidak ubahnya bagai binatang dan tumbuhan, hidup dalam
jangkau waktu tertentu kemudian mati.
Sehingga dalam pandangan mereka, dunia inilah
awal dan akhir dan ini semua terjadi begitu saja tanpa ada keterlibatan Tuhan, karena mereka meyakini alam mempunyai
mekanisme sendiri untuk mengatur dirinya sendiri.
Namun jika kita bicara jujur, sebenarnya tiap
manusia mempunyai naluri keagamaan. Maka saya setuju dengan ungkapan sejarawan
terkemuka Yunani 2000 tahun silam, Plutarch mengatakan, “Adalah mungkin bagi anda
menjumpai kota-kota yang tidak memiliki istana,
raja, kekayaan, etika, dan tempat-tempat pertunjukan. Namun tidak seorangpun
yang dapat menemukan sebuah kota yang tidak memiki sesembahan atau kota yang
tidak mengajarkan penyembahan kepada para penduduknya”. Ungkapan kuno ini
benar. Ia menyatakan bahwa naluri keagamaan sesungguhnya adalah sesuatu yang
bersumber dari fitrah manusia.
Kajian atas sejarah manusia menegaskan bahwa
kepercayaan telah bersemayam dalam diri manusia sejak kurun peradaban kuno
hingga saat ini. Berdasarkan penciptaan dan strukturnya, manusia adalah mahluk
yang, tidak bisa tidak, musti memiliki keyakinan. Berdasarkan struktur inilah
manusia diciptakan Allah. Namun begitu, manusia diberi hak memilih – patuh atau
bermaksiat kepada-Nya.
Menurut Alquran, segala sesuatu yang ada di
langit dan di bumi, termasuk manusia, hidup didalam naungan hidayah yang
terbentuk secara fitri, yang mengantarkannya kepada Allah. Dari titik tolak inilah Islam berusaha
menggiring pemahaman umat manusia untuk tidak menjadikan dunia ini, sebagai
persinggahan terakhir, namun sebagai starting
point untuk menuju kehidupan selanjutnya yang abadi dan
hakiki, akhirat!
Oleh karenanya Alquran memberi perhatian khusus
dan serius pada masalah kehidupan akhirat melebihi masalah-masalah lainnya.
Misalnya saja, ayat-ayat hukum menerangkan berbagai masalah cabang (fủru’)
hanya berjumlah 500 buah. Sementara, ayat-ayat yang berbicara tentang hari
kebangkitan bejumlah lebih dari 1000 buah. Dari sini dapat dilihat Alquran
memberikan perhatian serius pada masalah pemikiran dan keyakinan.
Jika hal ini mempunyai peranan sangat penting
sepert ini, lantas apa arti semua ini? Kemerdekaan! Allah SWT menghendaki
manusia untuk mengEsakan-Nya, dan menjadi manusia yang benar-benar merdeka
bersama-Nya agar tidak menjadi hamba bagi segala sesuatu.
Dari penghambaan kepada Allah sajalah, akan
lahir kemerdekaan manusia. Sebaliknya, dari kesombongan terhadap Allah, manusia
akan diperbudak oleh segala sesuatu selain Allah. Dengan kata lain, pengEsaan dan
penghambaan kepada Allah, memberikan kemulian dan kemerdekaan kepada manusia.
Tanpanya, manusia menjadi budak bagi segala sesuatu yang diciptakanNya. Dan
inilah tujuan hidup orang bijak yakni, merdeka bersama Allah, Tuhan yang
menciptakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar