Seorang
muslim perlu selalu melakukan muhasabah (introspeksi). Terutama ia harus
periksa adakah dirinya telah memenuhi kriteria seorang beriman sejati? Dan
untuk itu ia mesti membuktikan bahwa dirinya merupakan seorang muslim di
hadapan Allah سبحانه
و
تعالى
. Bukan di hadapan manusia lainnya. Muslim-mukmin sejati pasti mengharapkan
pengakuan dari Allah سبحانه
و
تعالى
bukan dari sesama manusia, bahkan bukan pengakuan dari dirinya sendiri.
Di
dalam bukunya, Anshari Ismail menulis sebagai berikut:
“Yang perlu kita lakukan hanyalah
membuktikan diri bahwa kita ini seorang muslim. Muslim yang dikehendaki oleh
Allah سبحانه
و
تعالى
, bukan muslim yang kita kira sendiri. Karena kita adalah hamba Allah سبحانه و تعالى
bukan hamba diri sendiri. Karena kita mengharap ridha Allah سبحانه و تعالى
bukan ridha diri sendiri. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa kita seorang
muslim, maka kita harus ber-Islam dengan caranya Allah سبحانه و تعالى
bukan dengan cara kita sendiri. Tetapi bagaimana ber-Islam dengan cara Allah سبحانه و تعالى
?” (“Jalan Islam-Transformasi Akidah dalam Kehidupan” – Anshari Ismail; An-Nur
Books Publishing 2008, hlm. 7)
Dewasa
ini, tidak sedikit kaum muslimin yang ber-islam menurut kemauannya sendiri atau
kemauan orang lain. Sehingga ia membuat kriteria sendiri siapa yang disebut
muslim. Dan karena kriteria itu adalah buatannya sendiri, maka cenderung
disesuaikan dengan keinginan pribadi. Misalnya, dia menganggap dirinya muslim
bila sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, tanpa memandang perlu memahami
konsekuensinya. Dia kira hanya dengan sudah mengucapkan secara lisan dua
kalimat syahadat berarti seseorang sudah pasti terpelihara dari api neraka dan
masuk surga. Dia berlindung di balik hadits seperti:
مَنْ قَالَ
لَا
إِلَهَ
إِلَّا
اللَّهُ دَخَلَ
الْجَنَّةَ
Barangsiapa
yang mengucapkan, “Tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Allah (laa
ilaaha illa Allah), niscaya dia masuk surga.”
(Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi No. 2562)
Sedangkan
Syaikh Abu Abdurrahman Al-Atsari menulis sebagai berikut:
“Ada pula beberapa hadits yang
serupa. Banyak dari mereka menganggap bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat
sudah cukup menetapkan sifat Islam dan berhak masuk surga meskipun tidak
mengerjakan sholat, melakukan perbuatan mungkar, menghina Allah سبحانه و تعالى
RasulNya صلى
الله
عليه
و
سلم
dan ayat-ayatNya, menyekutukan Allah سبحانه و
تعالى
dengan sesuatu yang tidak mempunyai kekuasaan, memberikan loyalitas kepada
musuh-musuh Allah سبحانه
و
تعالى
dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta orang-orang komunis, menerapkan
hukum-hukum kafir, UUD jahiliyah bagi manusia, melarang sebagian aturan-aturan
Islam dan memeranginya, seperti jihad fii sabilillah, sebagaimana yang terjadi
di negeri kaum muslimin hari ini. Jelas itu hanya terjadi pada orang bodoh atau
orang pandir yang membela para thaghut, yang tumbuh sejak kecil hingga tua di
atas aturan itu...” (“Al-Haqq wal-Yaqin fi ‘Adawat At-Tughat wal-Murtaddin” –
Abu Abdurrahman Al-Atsari; Media Islamika 2009, hlm. 17)
Mengucapkan
dua kalimat syahadat memang merupakan bentuk resmi seseorang dikatakan memeluk
agama Islam, namun sekadar mengucapkannya tidak serta-merta menjadikan
seseorang menjadi mukmin sejati. Ia perlu membuktikan dirinya melalui berbagai
pengalaman di dalam hidupnya agar jelas terlihat bahwa antara ucapan di lisan,
pembenaran di dalam hati dan pembuktian dengan segenap anggota tubuh ada
keselarasan dan hilanglah pertentangan antara satu bagian dengan bagian
lainnya. Semua itu perlu didukung dengan ilmu dan amal. Oleh karenanya Allah سبحانه و تعالى
berfirman bahwa setiap orang yang mengaku muslim perlu diuji agar jelas apakah
pengakuannya jujur atau dusta.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ
يُتْرَكُوا أَنْ
يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ
لا
يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah
beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3)
Seorang
muslim pasti mengalami aneka ujian dari Allah سبحانه و
تعالى
. Terkadang ujian berupa kesulitan dan terkadang berupa kesenangan. Semua ujian
tersebut dimaksudkan untuk menyingkap jenis muslim seperti apakah diri kita
masing-masing. Apakah kita termasuk seorang muslim jujur, yang berarti masuk ke
dalam kelompok mukmin sejati. Inilah di antaranya golongan yang digambarkan
Allah سبحانه
و
تعالى
di dalam surah Al-Kahfi:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ
جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلا
خَالِدِينَ فِيهَا
لا
يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلا
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus
menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah
daripadanya.” (QS. Al-Kahfi [18] : 107-108)
Ataukah
termasuk jenis muslim pendusta. Dan jika termasuk pendusta, maka ia dapat masuk
ke dalam kelompok munafiqun yang digambarkan Allah سبحانه و تعالى
seperti berikut:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا
هُمْ
بِمُؤْمِنِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا
يَخْدَعُونَ إِلا
أَنْفُسَهُمْ وَمَا
يَشْعُرُونَ
“Di
antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari
kemudian’, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya
menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah [2] : 8-9)
Di
samping itu, seorang muslim pendusta bisa masuk ke dalam golongan musyrikin
yakni orang-orang yang mempersekutukan Allah سبحانه و
تعالى
.
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا
وَهُمْ
مُشْرِكُونَ
“Dan
sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam
keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf [12] : 106)
Ada
lagi kemungkin ketiga yaitu seorang muslim pendusta masuk ke dalam golongan
kaum murtaddun (orang-orang yang murtad). Dia divonis keluar dari Islam
karena telah melakukan pelanggaran yang termasuk kategori nawaqidh al-iman
(pembatal keislaman).
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا
نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ
أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَلا تَعْتَذِرُوا قَدْ
كَفَرْتُمْ بَعْدَ
إِيمَانِكُمْ
Dan
jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentulah mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau
dan bermain-main saja". Katakanlah, "Apakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta
maaf, karena kamu kafir sesudah beriman." (QS. At-Taubah [9] : 65-66)
Muslim
pendusta yang masuk ke dalam golongan munafiqun, musyrikun maupun murtaddun
merupakan golongan yang sungguh merugi. Sebab mereka pada hakikatnya tidak bisa
disebut orang beriman. Mereka bakal kekal selamanya di dalam neraka.
Mengenai
kaum munafiq Allah سبحانه
و
تعالى
bakal menempatkan mereka di dalam neraka yang paling buruk siksaannya:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي
الدَّرْكِ الأسْفَلِ مِنَ
النَّارِ وَلَنْ
تَجِدَ
لَهُمْ
نَصِيرًا
“Sesungguhnya
orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari
neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi
mereka.” (QS. An-Nisa [4] : 145)
Sedangkan
kaum musyrikin Allah سبحانه
و
تعالى
jelaskan keadaan mereka sebagai orang-orang yang tidak diterima segenap amal
yang telah mereka kerjakan, betapapun banyaknya kebaikan, amal sholeh maupun
amal ibadah yang telah dikerjakannya.
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِينَ
“Sungguh,
bila kamu berbuat syirik, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi.”
(QS. Az-Zumar [39] : 65)
Adapun
kaum murtaddin, maka mereka menjadi sama kedudukannya dengan orang kafir. Sebab
mereka rela meninggalkan iman dan malah memilih untuk menjadi kafir. Allah سبحانه و تعالى
menggambarkan mereka sebagai berikut:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ
دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ
كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي
الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيهَا
خَالِدُونَ
“Barang
siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran,
maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka
itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 217)
Oleh
karenanya di dalam sejarah Islam terdapat banyak contoh dimana Nabi Muhammad صلى الله عليه
و
سلم
dan para sahabat utama memperlakukan orang yang secara status muslim namun
diperlakukan sebagai orang di luar Islam. Orang-orang itu mengucapkan dua
kalimat syahadat. Namun mereka telah dinilai keluar dari agama Islam karena
terlibat dalam pelanggaran yang dikategorikan sebagai nawaqidh al-iman
(pembatal keislaman).
Salah
satunya ialah yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir di dalam kitab Tafsirnya ketika
membahas surah An-Nisa ayat 65:
“Dua
orang lelaki yang berselisih datang menemui Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم lalu
beliau memutuskan tidak bersalah kepada fihak yang benar di atas fihak yang
salah. Fihak yang diputuskan bersalah tidak mau menerima dan berkata kepadanya:
“Saya tidak terima!” Kemudian yang satunya bertanya: “Lalu apa maumu?” Ia
menjawab: “Kita pergi ke Abu Bakar Ash-Shiddiq!” Merekapun pergi. Orang yang
diberi keputusan tidak bersalah berkata kepada Abu Bakar: “Kami telah mencari
keadilan kepada Nabi صلى الله عليه و سلم lalu aku diberi keputusan tidak bersalah.” Abu Bakar lalu
berkata kepadanya: “Kamu berdua harus menerima apa yang telah diputuskan oleh
Rasulullah صلى الله عليه و سلم .” Akan tetapi yang satunya tidak mau menerima. Keduanya
kemudian menemui Umar bin Khattab, lalu orang yang diberi keputusan tidak
bersalah berkata: “Kami telah mencari keadilan kepada Nabi صلى الله عليه و سلم lalu aku
diberi keputusan tidak bersalah tetapi yang satunya tidak mau menerima.” Mendengar
permasalahan ini lalu Umar bertanya kepadanya dan dijawab benar adanya. Umar
kemudian masuk dan pergi lagi membawa pedang terhunus di tangannya. Lalu orang
yang tidak mau menerima keputusan Rasulullah صلى الله عليه و سلم tersebut
ditebas lehernya..!” Maka turunlah ayat sebagai berikut:
فَلا وَرَبِّكَ لا
يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا
شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لا
يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا
قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka
demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.”
(QS. An-Nisa [4] : 65)
Subhanallah...! Sungguh luar biasa firasat Umar bin Khattab radhiyallahu
‘anhu. Beliau dapat mendeteksi kekafiran di dalam diri orang yang tidak
kunjung dapat menerima keputusan yang telah diambil oleh Rasulullah صلى الله عليه
و
سلم
padahal telah dikonfirmasi kebenarannya pula oleh sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq
radhiyallahu ‘anhu. Bayangkan, Allah سبحانه و
تعالى
memerlukan untuk bersumpah atas nama diri-Nya sebagai Rabb. Allah سبحانه و تعالى
berfirman mengawali ayat di atas dengan firmanNya: “Maka demi Rabbmu”.
Artinya, Allah سبحانه
و
تعالى
sangat serius ingin menjelaskan raibnya iman pada diri seorang yang mengaku
muslim namun ia (1) tetap enggan menjadikan Rasulullah صلى الله عليه
و
سلم
sebagai hakim, lalu (2) tetap merasa keberatan dalam hatinya terhadap keputusan
Rasulullah صلى
الله
عليه
و
سلم
dan (3) tidak menerima dengan sepenuhnya keputusan Rasulullah صلى الله عليه
و
سلم
tersebut.
Kejadian
di atas merupakan satu saja dari sekian banyak contoh generasi awal ummat Islam
yang tidak mudah terkecoh menilai seseorang sebagai muslim hanya dengan
mengandalkan bahwa orang tersebut telah mengucapkan secara lisan dua kalimat
syahadat.
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى
دِينِكَ
“Wahai
(Allah) Dzat yang membolak balikkan hati teguhkanlah hatiku berada di atas
agamamu.” (Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi No.
2066)