Sabtu, 03 Maret 2012

Aktivis Mahasiswa: Antara Prestasi dan Eksistensi

Aktivis, kata yang penuh makna kuat yang disandarkan kepada siapa saja yang memiliki aktivitas di dalam sebuah komunitas, baik di dalam organisasi atau lembaga yang dengan keberadaannya untuk memperjuangkan roda organisasi tersebut. Mereka bekerja tanpa berharap imbalan apapun, kalaupun ada imbalan maka sifatnya terbatas dan tidak tetap, karena begitulah aktivis, bukan seorang pegawai. Definisi kata tersebut boleh jadi berbeda dengan kenyataan, karena memang begitulah dalam memaknai sesuatu, setiap kita memiliki sudut pandang yang berbeda. Namun dari sinilah penulis ingin mengawali satu topik yang memang cukup klasik, namun unik untuk dibicarakan.
 
Aktivis Mahasiswa, rangkaian kata yang mungkin pas untuk kawan-kawan yang menjadi mahasiswa plus. Dikatakan plus, karena selain sebagai mahasiswa mereka juga plus menjadi pemimpin atau anggota dalam organisasi kemahasiswaan, baik di internal maupun eksternal. Kepemimpinan serta pergerakan di kemahasiswaan menjadi satu format gerakan ekstra parlementer yang terus konsisten dan massif mengadakan perlawanan bagi kebijakan pemerintah yang ke luar dari jalur yang telah ditentukan. 
 
Sebagai Agent of Change, Social control serta Iron Stock, maka aktivis mahasiswa tidak henti-hentinya terus bergerak dan melakukan control murni tanpa tendensi apa pun untuk setiap kepentingan rakyat. Selama ketidakadilan masih berada di bumi yang konon menjadi potret demokrasi di dunia, maka selama itulah mahasiswa akan menjadi partner control yang setia mengawal pada setiap kebijakan.
 
Menghadirkan kembali semangat yang pernah membara
Catatan panjang sejarah gerakan mahasiswa yang telah menorehkan banyak tinta perjuangan. Kita juga mungkin masih bisa mengingat kembali bagaimana gerakan yang luar biasa oleh kawan-kawan mahasiswa `98 untuk menggulingkan pemerintahan orde baru. Keringat, darah dan air mata, bahkan nyawa menjadi taruhan mereka untuk melahirkan satu era yang disebut dengan “era reformasi”. Kalaupun perjuangan itu harus dibayar mahal dengan terselipnya masa transisi yang cukup panjang dan menguras otak untuk mengembalikan bangsa ini pada jati dirinya.

Dari pra penggulingan orde baru sampai pasca orde baru, kemudian masa transisi dan era reformasi menjadi satu format rapih yang telah disusun oleh para pencetus masa yang kita nikmati saat ini. Mereka bukan orang sembarangan, deretan nama dibalik serentetan peristiwa-peristiwa bersejarah tersebut adalah tokoh muda mahasiswa yang memiliki tingkat intelektualitas yang tidak bisa diragukan lagi. Sebut saja Amien Rais, tokoh yang menjadi motor penggerak saat itu bersama kawan-kawan muda yang lain. Ia bukan orang sembarangan, ia dikenal orang yang sangat kritis dan memiliki tingkat kecerdasan yang luar biasa, terbukti dengan pengalaman pendidikannya yang mampu menembus pasar beasiswa di eropa, timur tengah dan Amerika. Sangat wajar kalau bangsa ini mampu melewati masa-masa transisi yang sulit, karena tokoh-tokoh muda aktivis mahasiswa berani bertanggung jawab untuk menentukan nasib bangsa ke depan melalui kapabilitas yang mereka miliki. Mereka mempertaruhkan eksistensi mereka melalui intelektualitas.

Tidak sampai pada nama Amien Rais saja, sederetan nama pun kembali hadir dalam dunia perpolitikan dan kepemimpinan nasional. Mantan-mantan aktivis mahasiswa ini seolah hadir dalam waktu yang tepat untuk memberikan solusi terhadap permasalahan bangsa. Anas Urbaningrum, mantan ketua PB HMI, Andi Rahmat dan Fahri Hamzah mantan ketua Umum KAMMI Pusat serta kawan-kawan mantan aktivis mahasiswa di PMII, GMNI, IMM, BEM Nasional, BEM SI, BEM Nusantara dan masih banyak lagi. Mereka adalah aset yang sangat luar biasa, yang dapat menunjukan arah eksistensi gerakan mahasiswa tanpa melupakan unsur intelektualitas.
 
Inilah bahan renungan kita (red: Aktivis Mahasiswa) yang telah diberikan satu anugerah status sebagai seorang aktivis kemahasiswaan. Para pendahulu kita telah membuktikan bahwa setiap langkah gerakan mereka selalu melalui pisau analisa yang tajam, tidak hanya sekedar ingin bergerak, namun gerakan yang memiliki dasar yang kuta yang lahir bukan hanya sekedar lintasan pikiran tapi proses kajian yang matang. Begitulah Anis Matta dalam bukunya Menikmati Demokrasi.
 
Bahtera yang besar ini membutuhkan nahkoda-nahkoda yang cerdas dan briliant untuk menerjang samudera yang terhampar luas. Maka, tidak ada lagi calon-calon nahkoda dalam bahtera ini yang bermalas-malasan dalam belajar, berprestasi dan bekerja keras, sebab mereka tidak akan jadi seorang nahkoda yang baik, karena mereka tidak mengetahui arah mata angin, dan arah mata angin tersebut adalah kesucian hati.”

Niat Seorang CALON DOKTER !!

Dokter mungkin jadi sebagian besar cita-cita waktu kita masih kecil. Yah, seperti halnya dalam sebuah iklan “Cila klo besar mau jadi apa? Jadi Dokter, supaya bisa ngobatin teman cila yang sakit”. Hmm, sebuah cita-cita yang mulia untuk menjadi seseorang yang bermanfaat buat orang lain. Dokter itu identik dengan status social tinggi di mata masyarakat. Nggak heranlah, soalnya nggak semua orang bisa menjadi dokter, disamping pelajarannya rumit juga butuh biaya besar. Bahkan, kaget juga kalo buku kedokteran itu mahal. Liat aja tuh kamus nak kedokteran yang biasa disebut sebagai kita suci mereka (lupa sih namanya kamus Dorland ato Borland yaa, klo salah kan nggak apa2 kan sy bukan nak kedok :)

Mungkin klo bisa sy bertanya pada mereka CALON DOKTER yang lagi nyelesain kuliah atau bahkan udah coass di rumah sakit, sebenarnya kenapa sih kalian mau jadi dokter? Apa karena mau ngobatin orang sakit seperti kata cila, atau keren aja klo jd dokter, atau karena berasal dari keluarga dokter, ikut perintah ortu atau alasan lain !! Yah, jujur atau nggak sih mnurut sy UUD (ujung2nya duit). Maap aja nih, karena sebagian besar dokter itu memang banyak duit, jadi wajarlah klo motivasinya bisa aja ngobatin orang, tapi kan dibayar. Coba klo nggak dibayar, mau nggak ngobatin orang?.

Trauma aja sih jg ma seorang dokter yang berkata pada seorang keluarga yang lagi masuk UGD. Dokternya bilang “Pak, saudara anda harus dioperasi segera” trus kata bapaknya “Operasi aja pak” dokternya nyomot “tapi, biayanya besar. Bapak sanggupkan bayarnya” bapaknya tertunduk lesu sambil berkata “Nanti sy usahain dok, yang jelas saudara saya dioperasi dulu” dan bla, bla, bla, dokter pun bilang “Maaf pak kami nggak bisa operasi saudara bapak kalo nggak ada jaminan”. Nah, klo gini gimana dong? Bapaknya yang salah karena nggak punya uang jaminan ataukah sapa suruh orang miskin sakit atau dokter lupa niat tulus ngobati orang?

Emang sih semuanya butuh biaya cuman kan ada namanya kebijakan, toleransi atau apalah. Dokter juga kan digaji. Nah kalo emang niat sebagian besar CALON DOKTER itu mmg tulus buat ngobatin orang, maka siap-siaplah nerima konsekuensinya. Masih untung klo bisa seperti Dr. Erika yang memang dari awal belajar kedokteran konsisten dgn niat awal untuk ngobatin orang tanpa nyusahin pasien. Dr. Erika sebelum jadi dokter itu prakteknya di desa terpencil dan jauh dari keramaian. Masih untung dapat rumah dinas yang dekat dengan puskesmas yg jadi tempat prakteknya. Biasanya puskesmas buka jam 8, pasien udah antri di depan puskesmas dan kebanyakan yang lagi mendesak langsung ke rumah dinas mengetuk pintu walau Dr. Erika masih istrahat, namun sang dokter tetap melayani dengan senang hati. Kalo obat habis, Dr. Erika sendiri yang pergi beli di kota seberang (numpang tukang ojek, hehe).

Nah, klo CALON DOKTER ini ditanya, mau nggak kalian ditempatkan di desa terpencil yang cuman ada pustu atau puskesmas pembantu. Masa mau jadi dokter dapat tempat prakteknya di kota, kan udah banyak dokter di kota, kecuali sih kalian bisa atur damai dengan yang bagian penempatan praktek calon dokter. Kembali lagi nih sy Tanya buat CALON DOKTER, sudah luruskah niat anda menjadi seorang DOKTER? Wajarlah memang kalo orang mau jadi dokter supaya dapat penghasilan besar dan kebanggaan orangtua. Ingat, jadi dokter itu susah loh dan banyak konsekuensi logis jika kamu udah jadi dokter. Malah, sekarang masih banyak yang nggak mau diobatin oleh dokter muda yang baru lulus (pa lagi dokternya nyogok buat lulus). Bukan apa2 sih, nanti terjadi maal praktek atau salah jahitlah, salah suntiklah, salah reseplah. Susah juga kan dapat kepercayaan dari seorang pasien.

Intinya sih, smoga CALON DOKTER itu orientasinya bukan duit aja karena saat ini menurut salah satu Profesor bidang Kedokteran UI pada pertemuan dengan PB IDI bahwa banyak dokter nakal yang beredar di rumah sakit swasta maupun pemerintah. Dokter nakal ini nyari duit aja dengan ngorbanin duit pasien. Motifnya gampang aja, sang dokter biasa ngasih resep yang berlebihan seperti pasien yang harusnya cuman 1 jenis obat aja bahkan nggak pake obat sudah bisa sembuh, eh malah dikasih 3 jenis. Kan supaya si dokter banyak dapat komisi dari penyedia obatnya. Trus ada juga tuh sang dokter suruh rawat inap walaupun nggak harus supaya dapat fee dr rumah sakit karena kamarnya disewa. Apalagi memvonis pasien untuk dibedah.

Heran juga, nyari duit kok sampai segitunya. Kan gaji dokter udah lumayan. Kata prof, gaji dokter itu sekitar 4 Juta – ratusan juta per bulan. Waoowwww, itu baru gaji loh blom yang lainnya. Tapi, kok masih nyari sampingan sih?? Mungkin aja dokter itu nyogok ampe ratusan juta buat masuk kuliah kedokteran (istilahnya sih beli kursi kuliah, heheeee). Duit, duit, duit. Semuanya memang butuh duit bagi yang memerlukan. Semoga aja, CALON DOKTER yang tersebar di seluruh universitas nggak berorientasi duit atau hanya mau title keren aja, tapi memang mau ngobatin orang supaya bisa sembuh tentunya dengan pertolongan Yang Diatas. Kalo kerja dan niat kita bagus, pasti kesuksesan itu datang menghampiri kita.  So, pikir lagi aja niat kamu sebenarnya karena apa mau jadi dokter :)

http://ucokeren.blogdetik.com

Pengaruh Organisasi Terhadap Nilai Matakuliah Mahasiswa

Mungkin ketika kalian membaca tulisan ini, kalian pasti langsung mengatakan kalau organisasi itu dapat menyebabkan nilai matakuliah mahasiswa anjlok atau ada yang sependapat dengan saya kalau organisasi itu dapat meningkatkan nilai matakuliah. Ya, mungkin ada setuju atau tidak mengenai hal ini, karena keadaannya pasti berbeda antara mahasiswa yang satu dengan lainnya.

Oleh karena itu, saya cuman ingin membahas kalau memang benar organisasi itu dapat meningkatkan  atau bahkan mendongkrak nilai kalian yang dulunya cuman kisaran C, D, atau E menjadi minimal dapat nilai B dan bahkan sangat memungkinkan nilai A+ dalam genggaman kalian. Kecuali, organisatoris yang memang malas kuliah yaa hal ini nggak berlaku untuk pemalas.

Mengapa organisasi bisa mendongkrak nilai jongkok bahkan tiarap menjadi berdiri bahkan bisa  menerbangkan diri kalian? Pertama dan yang paling penting adalah organisasi mengajarkan keterampilan berbicara depan umum (komunikasi dua arah). Mungkin kalian adalah salah satu mahasiswa yang merasa masih gugup berbicara depan umum walaupun hanya di dalam kelas yang di depan kalian itu cuman dosen dan teman-teman perkuliahan tersebut. Malahan ada mahasiswa yang bukan hanya takut berbicara depan teman dan dosennya, bahkan sekedar tunjuk tangan untuk bertanya atau menjawab aja takutnya setengah mati.

Ya, kuncinya berbicara dan komunikasi dua arah. Organisatoris diharapkan dapat menyampaikan pendapat kepada orang lain dengan terstruktur dan tidak bertele-tele. Ingat, keterampilan ini tidak akan diajarkan pada matakuliah apapun. Oleh karena itu, dengan berorganisasi kita bisa belajar bagaimana berbicara dan berkomunikasi dengan baik. Biasanya organisasi selalu memberikan tanggung jawab kepada seorang anggotanya untuk memegang suatu kepanitiaan atau mengisi sebuah acara kemahasiswaan. Nah, kita sebagai anggota yang peduli terhadap organisasi pasti akan berusaha sebaik mungkin untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut agar tidak mengecewakan organisasi, senior, junior dan diri sendiri.

Dengan menjadi panitia pelaksana atau pengisi acara kemahasiswaan, pasti kita akan dihadapkan pada situasi untuk melakukan komunikasi dengan orang lain diluar organisasi kita atau kita pasti berusaha sekeras mungkin untuk memberikan yang terbaik pada saat kita tampil dan berbicara di depan para undangan saat menjadi pengisi acara kemahasiswaan. Kemampuan berbicara ini pasti akan tertular pada saat kita kuliah, sehingga jika kita disuruh oleh dosen untuk presentase, diskusi, bertanya atau menjawab kita pasti bisa karena sudah terbiasa melakukannya di organisasi. Berbicara depan orang banyak aja udah terbiasa, apalagi cuman berbicara depan dosen dan teman-teman perkuliahan.

Nah, akibat dari keterampilan berbicara depan umum ini adalah kita menjadi mahasiswa yang aktif dalam kelas dan ini akan menjadi penilaian plus tersendiri bagi dosen matakuliah dibandingkan dengan teman yang pasif dan hanya serius mengikuti/mendengarkan teman atau dosen yang berbicara mengenai suatu permasalahan yang dibahas dalam perkuliahan. Jadi, kalian udah ngerti kan kalau organisasi kemahasiswaan itu tidak akan merugikan atau bahkan mengganggu nilai perkuliahan kalian.