"Menurut Imam Ali, kezaliman ada tiga jenis; yang
pertama ialah perbuatan syirik kepada Allah SWT. Kezaliman ini sama sekali
tidak akan mendapat pintu ampunan Allah, sebagaimana yang ditegaskan dalam
Al-Quran.
Jenis kedua ialah kezaliman yang dapat diampuni oleh
Allah SWT dan itu ialah berbuat dosa atau ada kekurangan dalam mengerjakan
perintah Allah. Dan yang ketiga ialah kezaliman yang harus dibalas atau
diqisas, baik di dunia maupun di akhirat. Kezaliman dalam kategori ini tak lain
adalah tindak aniaya yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Imam Ali
pernah menuturkan bahwa balasan Allah sangat keras kepada orang yang berbuat
zalim. Manusia yang paling sempurna dan guru kepada Imam Ali, yaitu nabi besar
Muhammad SAWW, juga pernah menegaskan: "Hari dimana seorang yang mazlum
atau teraniaya membalas si zalim, jauh lebih pedih ketimbang hari dimana si
zalim menganiaya si mazlum."
Hujjatul Islam Bahman Pur, dalam mengomentari hal ini
mengatakan:
"Kezaliman yang dilakukan kepada sesamanya sangat
dikutuk oleh naluri manusia sendiri. Kezaliman semacam ini contohnya ialah
tragedi besar yang menimpa warga Bosnia Herzegovina dengan dalih masalah etnis.
Semua orang tahu bahwa sama sekali tak ada alasan untuk membenarkan kezaliman
yang dilakukan kepada warga Bosnia. Mudah-mudahan warga dunia menaruh perhatian
terhadap apa yang dituturkan oleh Imam Ali kepada putra-putri dan generasinya.
Beliau berkata: "Jadilah kalian sahabat orang mazlum dan musuh orang
zalim."
Wasiat Imam Ali ini bukan hanya datang dari seseorang
yang berstatus pemimpin umat, tapi juga dari orang yang berhasil meraih
kesempurnaan insani yang tak lupa berusaha menyirami naluri atau fitrah manusia
dengan pesan ini. Kita berharap masyarakat penghuni dunia ini benar-benar meresapi
dan kembali kepada fitrah mereka demi menjauhi fanatisme agama, golongan,
bangsa dan etnis untuk kembali kemudian menyadari apa tugas mereka terhadap
orang-orang tertindas yang dilanggar haknya tanpa ada salah dan dosa.
Kesabaran dan kritik
Menurut Imam Ali, salah satu syarat mutlak yang harus
dimiliki seorang pemimpin ialah kesabaran dan ketangguhan dalam menghadapi
segala kesulitan, baik kesulitan individu maupun sosial. Kesabaran, kata
beliau, ibarat kedudukan kepala pada tubuh. Tanpa kesabaran, urusan akan kacau.
Dalam masyarakat Islam, seorang pemimpin tentunya
memiliki tanggung jawab yang berat, harus memiliki karakter ini lebih dari yang
lain. Dan orang yang kemauannya lemah dan tidak punya semangat beristiqomah,
sudah pasti tidak memiliki kekuatan untuk menanggung beban perjuangan dan
menghadapi segala kesulitan sosial. Karena itu orang yang sedemikian tidak
layak untuk menerima tanggung jawab memimpin.
Imam Ali pernah menjelaskan masalah ini dalam
khutbahnya ketika umat mendesaknya agar memegang kendali kepemimpinan. Dalam
khutbah yang termuat dalam kitab Nahjul Balaghah ini, Imam Ali menuturkan: "Tak
seorangpun layak memegang bendera kepemimpinan kecuali orang yang mengerti
kepemimpinan, sabar, teguh dan tahu letak-letak kebenaran."
Tak dapat dimungkiri, istiqamah atau keteguhan sangat
determinan dalam memenuhi kelayakan sebagai pemimpin. Karena sudah merupakan
keharusan bagi seorang pemimpin untuk bersedia menghadapi problema-problema
politik, ekonomi dan militer, akan tetapi perlu diingat bahwa motivasi
istiqamah seorang pemimpin umat Islam tidak sebagaimana halnya sejumlah
pemerintahan yang semata-mata demi tujuan materialis.
Tujuan dari hidup insan dan masyarakat manusia ialah
melangkah menuju kesempurnaan insani. Untuk menempuh tujuan ini seorang
pemimpin harus terlebih dahulu menjadi teladan seorang manusia yang sempurna,
dan selanjutnya membawa masyarakat ke jalan Allah. Masalah ini tentunya sangat
menuntut kesabaran dan keteguhan seorang pemimpin.
Satu lagi hal yang juga diamalkan Imam Ali dalam
memimpin dan kemudian dipesankan kepada bawahannya ialah bersedia menerima
kritik yang membangun. Dan syarat kritik yang membangun ialah didukung dengan
pengetahuan dan argumen yang benar dari si pengkritik. Tanpa syarat ini, Islam
tidak membenarkan melontarkan kritik kepada siapapun. Imam Ali sendiri dalam
mengkritik pejabat-pejabat dibawahnya sangat konsekwen dengan syarat ini.
Selain itu, beliau juga meminta mereka agar memberikan
kebebasan kepada rakyat untuk melontarkan pendapat yang sekiranya rakyat tidak
segan untuk menjelaskannya.
Imam Ali dalam sebuah kalimatnya yang disampaikan
kepada gubernur Malik Al Asy-tar berkata: "Ikut sertalah kamu dalam
majlis-jmajlis umum. Hindarilah kesenjangan antara kamu dengan rakyat agar
rakyat dapat berbicara dengan senang hati."
Sudah barang tentu, cara mengkritik juga merupakan
salah satu masalah yang punya peran penting untuk menyampaikan kritik yang
membangun. Jadi hak-hak untuk mengkritik semata-mata tidak cukup dalam usaha
membangun segala kekurangan, melainkan juga perlu melihat situasi dan kondisi.
Mengkritik dengan cara tidak benar, bukan hanya tidak membangun, malah akan
menambah kesulitan. Sebagai contoh, tidak dibenarkan mengkritik seseorang di
depan khalayak umum kecuali dalam kasus-kasus tertentu. Imam Ali berkata:
"Nasehatmu kepada seseorang di muka umum sebenarnya adalah mencoreng harga
diri seseorang."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar