Jumat, 21 Oktober 2011

Meraih Kesempurnaan Insani

Hakikat Kesempurnaan
Setiap hakikat yang maujud memestikan totalitas dirinya, zatnya, dan sifat-sifatnya. Jadi, ketika kita mengasumsikan hakikat A memiliki sifat-sifat seperti B dan C, maka hakikat ini dalam zatnya meniscayakan bahwa A adalah tidak nâqish (kurang) dan nâqish dari A itu sendiri tidak lain adalah bukan A itu sendiri, sementara kita mengasumsikan bahwa ia adalah A. Dan demikian pula hakikat ini mesti memiliki sifat-sifat seperti B dan C dari dimensi dirinya adalah dirinya dan nâqish dari B dan C itu sendiri tidak lain bahwa tidak tersifati B dan C, sementara kita mengasumsikan tersifati B dan C dan bukan selain dari mereka. Ini adalah merupakan perkara yang sangat jelas. Dan ini sesuatu yang merupakan kemestian setiap hakikat dalam zatnya serta sifat-sifat yang dimilikinya, dan kita menamakan hakikat ini dengan kesempurnaan.
Selanjutnya, hakikat setiap kesempurnaan tidak lain adalah sesuatu yang dalam zatnya terkait dengan kait ketiadaan. Jadi setiap kesempurnaan dalam zatnya memiliki hakikat dirinya dan tidak ada sesuatu pun yang tak termiliki zatnya kecuali dari sisi kait ‘adami (ketiadaan) yang secara daruri menyertainya.
Hakikat A, misalnya memiliki sesuatu yang telah diasumsikan baginya, dan batas pemisah keberadaan sesuatu ini dari A dengan sesuatu lainnya dari A hanyalah dikarenakan kait ketiadaan mereka, dan dikarenakan kait ini maka masing-masing dari keduanya ini tidak memiliki kekhususan sesuatu lainnya. Karena itu, bagi hakikat A terdapat dua tingkatan: Pertama, tingkatan zatnya, dimana tidak ada sesuatu pun yang hilang dari zatnya dan kedua, tingkatan partikularisasinya, dimana dalam bentuk ini sesuatu akan hilang dari kesempurnaannya.
Dari uraian ini menjadi jelaslah bahwa hakikat setiap kesempurnaan adalah bentuk absolutnya, ketakbergantungannya, dan kepermanenannya. Dan kadar kedekatan setiap kesempurnaan terhadap hakikatnya sebanding dengan kadar zuhur hakikatnya pada kesempurnaan tersebut; yakni kedekatannya dinisbahkan terhadap kait dan batas yang menjadi fokus tinjauan. Oleh karena itu, setiap sesuatu yang kaitnya banyak maka zuhurnya sedikit dan sebaliknya, setiap sesuatu yang kaitnya sedikit maka zuhurnya adalah banyak.
Dari paparan ini menjadi jelaslah bahwa Allah SWT merupakan hakikat akhir dan final setiap kesempurnaan, dikarenakan Allah SWT adalah kesempurnaan sejati dan keindahan murni dan kadar kedekatan setiap eksistensi dinisbahkan kepada-Nya adalah sekadar batas dan kait ketiadaan yang menyertainya.
Demikian pula menjadi jelaslah bahwa  wusulnya (sampainya) setiap eksistensi kepada kesempurnaan hakikinya, merupakan kemestian kefanaan dari eksistensi tersebut; sebab wusul kepada kesempurnaan hakiki merupakan kemestian dari kefanaan dari kait dan batas  dalam zat atau dalam sifat-sifat. Yakni kefanaan setiap maujud meniscayakan kebakaan hakikat maujud itu dengan sendirinya. Tuhan berfirman: : “Semua yang ada (di bumi) akan fana (binasa). Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. Ar-Rahman [55], ayat 26-27)
Kesempurnaan Insani
Kesempurnaan hakiki setiap mumkinul wujud adalah kefanaan mereka pada-Nya. Dan kesempurnaan hakiki bagi manusia adalah pemutlakan, pelepasan diri dari seluruh kait-kait, dan memfanakan diri pada-Nya. Dan bagi manusia tidak ada kesempurnaan sedikit pun selain dari itu.
Sebagaimana dalam pengetahuan nafs dikatakan bahwa syuhud manusia pada zatnya tidak lain adalah zatnya itu sendiri dan ini adalah syuhud seluruh hakikat-hakikatnya dan hakikat akhirnya. Dan ketika manusia memfanakan dirinya, maka dia pada saat yang sama dalam keadaan fana, juga menyaksikan dirinya. Dengan kata lain, hakikat dirinya tidak lain adalah syuhud nafsnya dalam keadaan dia fana.
Jadi, kesempurnaan hakiki bagi manusia adalah wusulnya kepada kesempurnaan hakiki dirinya dari sisi zat, sifat, dan perbuatan, dimana ini adalah kefanaan zat, kefanaan sifat, dan kefanaan perbuatan pada Haq SWT yang diibaratkan dengan tauhid zat, tauhid sifat, dan tauhid perbuatan (ketiga tauhid ini diungkapkan dengan ungkapan laa ilaaha illallah wahdahu, wahdahu, wahdahu). Maqam ini merupakan hasil dari syuhud manusia dimana dia menemukan bahwa tidak ada satu pun zat, sifat, dan perbuatan kecuali bagi Haq SWT dengan tanpa masalah ini berakhir kepada hulul (inkarnasi) dan penyatuan, karena Tuhan Yang Maha Suci niscaya bersih dan suci dari kedua perkara ini.
Oleh karena itu, jalan yang paling dekat bagi manusia untuk wusul kepada kesempurnaan hakiki adalah jalan makrifat nafsnya dan jalan makrifat nafs ini merupakan jalan penjauhan dan pelepasan diri dari selain Tuhan dan berpaling secara totalitas kepada-Nya.
Menapak Jalan Kesempurnaan
Jika seseorang mendapatkan syuhud nafsnya maka niscaya dia akan menemukan syuhud Tuhannya (sesuai hadits: Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu). Dan ini merupakan jalan yang terbaik bagi wilayat dan bagi syuhud jamal (keindahan) serta jalal (keagungan) Allah SWT.
Jika manusia ingin menyaksikan dirinya, jalannya adalah membawa dirinya kepada kepapaan dan kefakiran. Dan ketika dia telah membawa dirinya kepada kepapaan dan kefakiran maka dia tidak lagi akan bertumpu pada dirinya dan tidak juga bersandar kepada orang lain. Tapi perlu diketahui bahwa jalan ini tidak mungkin dapat dilewati kecuali dengan tauhid. Bahkan pada hakikatnya, jalan wilayat adalah jalan tauhid. Cara menapaki jalan ini adalah, ketika manusia menemukan dirinya fakir sejati dan menyaksikan dirinya rabt (hubungan, relasi, nisbah) murni; bukan suatu zat yang memiliki rabt maka saat itu dia menemukan bahwasanya Tuhan Yang Maha Suci adalah ketidakbutuhan (kaya) murni; bukan suatu zat yang memiliki ketidakbutuhan, dan ketidakbutuhan itu bukanlah sifat yang datang dan beraksiden kepada-Nya (Wahai manusia! Kamu adalah maujud-maujud fakir di hadapan Allah dan Allah adalah Maha Kaya lagi Maha Terpuji; petikan bebas dari salah satu ayat Al-Quran).
Sedemikian hingga manusia mesti menyaksikan kefakiran murni dirinya dan bukan zat yang memiliki kefakiran; sebab jika dia adalah zat yang memiliki kefakiran dan kefakiran ini adalah sifat niscaya baginya, dan karena sifat tidak berada dalam tingkatan yang disifati (zat yang disifati) maka kemestian dari ini bahwa manusia dalam maqam zat insan tidaklah fakir. Dan jika kefakiran tidak punya jalan kepada zat maka zat tersebut adalah kaya dan berdiri sendiri; sementara manusia secara zat adalah budak dan hamba Tuhan serta kefakiran murni. Oleh karena itu, ketika manusia menyaksikan zatnya yang sedemikian ini maka dia akan melihat bahwasanya perbuatan dan tindakannya fana dalam fâ’il (pelaku) yang mandiri, yakni Allah SWT. Selanjutnya baginya menjadi jelas bahwa maujud-maujud yang lainnya juga demikian, tidak ada satu pun di antara mereka yang memiliki kemandirian. Dan karena mereka tidak mempunyai kemandirian maka fi’il (perbuatan) mereka juga fana dalam perbuatan Allah SWT. Dengan demikian, manusia dengan makrifat seperti ini niscaya tidak akan berani melakukan perbuatan-perbuatan buruk, maksiat, dan dosa. Kata urafa, alam ini seluruhnya adalah mazhar (manifestasi) Tuhan maka janganlah berbuat dosa dan maksiat dalam mazhar Tuhan.
Dan dikarenakan maksiat serta dosa akarnya kembali kepada kekurangan dan ketakberpunyaan, yakni tidak membutuhkan mabda (sumber, pangkal) zati maka maksiat dan dosa tidak memiliki sandaran kepada Tuhan Yang Maha Suci dan tidak berakhir kepada Zat Maha Suci Tuhan. Dengan demikian tersisa perbuatan-perbuatan wujudi, baik, dan sempurna. Dan perbuatan-perbuatan wujudi, baik, dan sempurna ini merupakan kekhususan dan terbatas hanya bagi Allah SWT, Zat Yang Maha Kaya.
Sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya bahwa maksiat dan dosa akarnya kembali kepada kekurangan dan kefakiran, yakni tidak membutuhkan mabda zati, karena itu maksiat dan dosa tidak memiliki sandaran kepada Tuhan Yang Maha Suci dan tidak berakhir kepada Zat Maha Suci Tuhan. Sebaliknya perbuatan-perbuatan wujudi, baik, dan sempurna merupakan kekhususan zat suci Haq SWT dan terbatas hanya bagi Allah SWT sebagai satu-satunya Zat Yang Maha Kaya dan Maha Sempurna,  karena itu setiap perbuatan baik yang muncul dari setiap pelaku mesti fana dalam perbuatan Tuhan dan ini merupakan asas dari tauhid perbuatan.
Tauhid perbuatan, yakni seseorang mencapai kedudukan dimana dia memandang seluruh perbuatan-perbuatan baik dari setiap pelaku, semuanya fana dalam perbuatan Tuhan. Seseorang, ketika mencapai kedudukan ini, dia akan mengizinkan dirinya berkata, seluruh alam berada di bawah naungan rububiyyah Rabbul ‘Alamin. Dirinya, perbuatannya, dan sifat-sifatnya, semuanya merupakan kisah dan lukisan dari perbuatan dan sifat-sifat perbuatan Tuhan. Dan dia menyaksikan maujud-maujud lainnya beserta sifat dan perbuatan mereka juga seperti demikian. Oleh karena itu, ketika dia melihat perbuatannya fana dalam perbuatan Tuhan dan menyaksikan (musyahadah) perbuatan pelaku-pelaku lainnya juga fana dalam perbuatan Tuhan, niscaya dia tidak akan bersandar kepada dirinya dan kepada orang lain. Dia telah mencapai maqam dimana dia melepaskan segala bentuk sandaran, termasuk kepada dirinya sendiri dan melihat tidak ada sama sekali sandaran kecuali bersandar kepada Allah SWT. Dia telah melepaskan dirinya dari kekurangan ini (bersandar kepada diri dan kepada yang lain selain Tuhan) dan mencapai tingkatan hanya bersandar kepada Haq SWT.
Ketika telah lewat dari tauhid perbuatan, yakni fananya seluruh perbuatan dalam perbuatan Tuhan, seseorang akan sampai pada tauhid sifat, yakni fananya sifat pada sifat Tuhan. Seseorang, ketika dia belum sampai pada penyaksian sifatnya dan sifat-sifat maujud-maujud lainnya fana dalam sifat-sifat Tuhan maka pada hakikatnya dia bukan seorang muwahhid (orang bertauhid) hakiki. Sebab jika Tuhan memiliki sifat-sifat sempurna dan sifat-sifat itu tidak terbatas maka tidak ada tempat bagi sifat lainnya di samping sifat tak terbatas tersebut, meskipun sifat itu terbatas. Jika Tuhan memiliki ilmu dan ilmu itu tidak terbatas maka tidak bisa dikatakan lagi bahwa di samping ilmu tak terbatas Tuhan terdapat ilmu-ilmu maujud lainnya, kendatipun ilmu-ilmu itu adalah terbatas.
Pemikiran yang memandang ilmu Tuhan tidak terbatas dan ilmu maujud-maujud lainnya terbatas atau ilmu Tuhan mandiri dan ilmu maujud-maujud lainnya bil-ghair (bergantung kepada yang lain); adalah suatu pemikiran yang tidak benar; sebab jika terdapat suatu ilmu yang berhadapan dengan ilmu Tuhan, meskipun ia terbatas, pada hakikatnya ia telah membatasi ilmu Tuhan. Padahal jika suatu ilmu tidak terbatas maka ia dengan sendirinya tidak menyisakan ruang sama sekali bagi keberadaan ilmu lainnya. Karena tidak terbatas, yakni tidak berakhir dan bertepi. Jika sesuatu tidak terbatas dan tidak berakhir maka ia tidak mempunyai batas dan akhir dimana kita dapat mengatakan ini ilmu Tuhan dan ini ilmu selain-Nya. Oleh karena itu, ketika sifat Tuhan dilihat tidak terbatas maka seluruh sifat-sifat mesti juga disaksikan fana dalam sifat-sifat Tuhan. Ini adalah fananya sifat-sifat dalam sifat-sifat Tuhan yang disebut tauhid sifat.
Ketika seseorang dalam tingkatan sifat telah muwahhid, dimana dia menyaksikan seluruh sifat-sifat fana dalam sifat-sifat Haq SWT, dia akan beranjak menuju tahap yang lebih tinggi, yakni tauhid zat. Dalam tahap ini, dia telah mencapai batin alam dan batin agama. Dan dari batin ini dia juga menyaksikan batin dan kedalaman lain, dimana tidak lain adalah fana zati, yakni dia menyaksikan tidak ada satupun zat yang mandiri dan tidak satupun eksistensi yang terpisah. Dia melihat serta menyaksikan seluruh zat dan eksistensi fana dalam zat dan eksistensi murni, sebab jika eksistensi Tuhan adalah eksistensi yang tidak terbatas maka niscaya tidak ada lagi asumsi bahwa terdapat eksistensi-eksistensi lain yang berhadapan dengan eksistensi tak terbatas tersebut, apakah mereka itu terbatas ataukah tidak terbatas. Sebagaimana asumsi terdapat dua eksistensi tidak terbatas adalah suatu asumsi yang tidak benar maka asumsi terdapat satu eksistensi tidak terbatas dan eksistensi lainnya terbatas juga adalah asumsi yang salah; sebab sesuatu yang tidak terbatas niscaya ia tidak menyisakan lagi suatu kekosongan dimana sesuatu lain yang terbatas mengisi kekosongan tersebut. Ketika itu dia menyaksikan seluruh eksistensi-eksistensi fana dalam eksistensi mutlak Hak SWT, seperti gambar-gambar cermin yang menampakkan dan memperlihatkan eksistensi pemilik zat. Oleh karena itu, seluruh alam adalah alamat dan ayat-ayat Ilahi. Dan ketika nafs sampai pada kedudukan ini maka tauhid zat telah menjadi bagiannya, yakni ia menyaksikan seluruh zat dan eksistensi fana dalam zat Haq SWT dan ini disebut dengan fana zati. Dan nafs yang sampai pada tahap ini telah sampai pada paling tingginya sair wilayat (perjalanan wilayat) dan penyaksian, sebab ia tidak melihat lagi dirinya dan yang lain, ia hanya menyaksikan satu zat dan itu hanya Haq SWT.
Fana zati tidak bermakna bahwa manusia hancur dan lenyap, sebab kehancuran, ketiadaan, dan kelenyapan adalah kekurangan, bukan kesempurnaan; sementara paling tingginya tingkatan wilayat insani adalah fana zati dan ini adalah puncak kesempurnaan yang dapat diraih oleh seorang manusia dalam perjalanan suluknya kepada Haq SWT. Oleh karena itu, fana zati, yakni ia tidak melihat suatu zat kecuali zat suci dan agung Tuhan. Ia tidak melihat dirinya, sifatnya, dan perbuatannya, serta ia tidak melihat irfan dan kemurnian perjalanan suluknya. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Sina tentang hal ini, barang siapa menginginkan irfan untuk irfan maka ia pada hakikatnya telah berpandangan (adanya keberadaan dan tujuan) yang kedua.
Seorang pesuluk yang telah mencapai muwahhid dan tauhidnya telah sempurna, dia tidak hanya tidak melihat sesuatu yang lain, tetapi lebih dari itu dia tidak melihat dirinya dan irfannya, yang dia lihat hanya ma’ruf (yang dikenal) dan tidak ada yang lain.
Parameter Jalan Menuju Kesempurnaan
Jika kita meneliti kandungan ayat-ayat Al-Quran dan kandungan riwayat-riwayat manusia suci (Maksumin) serta mempunyai kontemplasi dan perenungan yang cukup terhadap mereka, maka kita akan mendapatkan kebenaran masalah ini bahwa ukuran dan parameter pahala dan dosa, balasan pahala dan siksa akhirat tidak keluar dari ketaatan dan ‘inad (penentangan) terhadap perintah dan larangan Tuhan. Jadi sesuatu yang menjadi keniscayaan ajaran dari Al-Quran dan riwayat adalah, dosa-dosa yang keluar dari anak dan cucu Adam, hatta itu dosa besar, jika keluarnya dosa-dosa tersebut dikarenakan ketiadaan pengetahuan dan terjadi dikarenakan kejahilan murni maka mereka itu tidak akan menyebabkan balasan siksa bagi pelakunya. Sebagaimana ibadah dan perbuatan yang dilakukan jika tidak dimaksudkan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Tuhan dan taat kepada-Nya maka pekerjaan-pekerjaan itu tidak akan membuahkan pahala. Kecuali ketaatan-ketaatan dan perkara-perkara yang merupakan kemestian secara zat dari ketundukan dan kepatuhan kepada Haq SWT dimana bentuk ketaatan dan perkara ini akan mendapatkan pahala, seperti sebagian dari keutamaan-keutamaan akhlak mulia.
Demikian pula pekerjaan dosa yang dilakukan seseorang yang tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang keberdosaan  dalam melakukan pekerjaan itu maka ia tidak patut dicela dan dipandang buruk, tapi seseorang yang mengerjakan perbuatan ketaatan dengan maksud penentangan dan mempermainkan hak Tuhan maka perbuatannya itu tidak kosong dari celaan dan keburukan. Oleh karena itu, ukuran ketaatan dan maksiat seseorang secara bergradasi dilihat dari tingkat makrifatnya terhadap ketaatan dan penentangan yang dilakukannya. Dalam riwayat terdapat hadis yang menyebutkan, paling utamanya amal adalah paling susahnya (dalam mengerjakannya). Dan mizan serta ukuran yang dihukumi akal terhadap pahala dan dosanya suatu perbuatan adalah makrifat dan kepatuhan kepada Haq SWT serta makrifat dan penentangan kepada-Nya.
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia baik di dunia dan terlebih di akhirat tidak terlepas dari dua perkara tersebut, yakni ketaatan dan inad; karena itu kepatuhan dan penentangan secara esensial dan  bergradasi memiliki medan yang sangat luas. Dan dari pendekatan ini jelaslah bagi kita juga bahwa kebahagiaan bagi orang beragama hak (baca; orang muslim) adalah kesempurnaannya. Adapun mutlak kebahagiaan itu sendiri tidak terbatas bagi orang beragama hak, akan tetapi orang-orang lain juga akan mendapatkannya dengan syarat memiliki jiwa ketaatan dan kepatuhan kepada Haq SWT serta bersih dari sifat penentangan dan inad terhadap-Nya. Dan ini adalah sesuatu yang dihukumi akal dan terdapat dalam matlab syariat. Sebab syariat itu sendiri menegaskan perkara-perkara yang akal hukumi secara rasional dan argumentatif. Sebagaimana dalam hadis dinukil bahwa Nabi SAW bersabda: “Saya diutus untuk menyempurnakan makârim akhlak”. Demikian juga terdapat dalam riwayat bahwa Hâtim Thâii dikarenakan kedermawanannya maka dia tidak akan mendapatkan azab, sedangkan si fulan dikarenakan keadilannya maka dia tidak akan disiksa.
Kebanyakan ayat-ayat Al-Quran menjanjikan azab dan siksa bagi orang-orang yang telah sampai dalil dan penjelasan kebenaran kepada mereka serta hujjah kebenaran telah sempurna bagi mereka tetapi mereka tetap melakukan penentangan dan pembangkangan terhadapnya. Dan Al-Quran juga memandang kekafiran itu berkaitan dengan pembangkangan dan penentangan terhadap kebenaran ayat-ayat Tuhan: “Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka.” Di samping itu Al-Quran memandang satu-satunya ukuran kebahagiaan dan penderitaan, yaitu kebersihan jiwa dan kesucian hati: “Pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
Cara ini adalah cara yang ditarbiyahkan oleh para nabi dan seluruh agama-agama Ilahi, dan tujuan capaian jalan ini adalah mutlak kesempurnaan insani di mana ia merupakan teori dan pandangan para filosof dan urafa Ilahi.(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar