Bangsa
Indonesia dengan segala keragaman yang dimilikinya tersusun atas pelbagai
lapisan masyarakat –Mulai rakyat biasa sampai kalangan elit-. Mahasiswa
menempati posisi mediasi dan interkoneksi antara rakyat dan elit. Namun yang
jadi tanda tanya besar saat ini adalah, sudahkah para mahasiswa mengambil peran
strategis yang mereka miliki? Jawabannya belum. Lalu, pertanyaan berikutnya
adalah bagaimana bisa hal ini terjadi? Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya
terjadi, salah satu faktor penyebabnya adalah pola pikir mahasiswa saat ini
yang mulai bergeser dari euforia pergerakan menuju pragmatisme pribadi dan
golongan. Hal ini dapat diamati lewat tingkat
kecendrungan mahasiswa dalam proses studinya yang semakin academic oriented, terbukti lewat
tingkat partisipasi mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang selalu
ramai di awal tahun, namun semakin sepi di tahun-tahun berikutnya.
Sebagaimana
diketahui bahwa mahasiswa memiliki tiga peran penting dalam menyusun peradaban
di bumi ini. Peran-peran tersebut adalah: Agent
Of Change, Iron Stock dan
Moral Force. Namun, sudahkah semua mahasiswa mengerti dengan triangular role of students ini?
Kenyataanya tidak semuanya mengerti akan hal ini. Biaya pendidikan yang semakin
melambung akibat kebobrokan birokrasi dan sistem yang dijalankan universitas
menjadi poin penting awal dimana kita harus mulai melangkah dalam memahami
permasalahan ini. Lalu, hal ini diperparah dengan tuntutan akademis yang
semakin padat, sehingga menyebabkan banyak mahasiswa lebih cenderung terfokus
pada kegiatan akademiknya saja dan mengenyampingkan hal-hal lain yang bersifat
kontributif bagi sesamanya. Hal ini ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan
universitas yang mulai “mengkebiri” kegiatan-kegiatan eksekutif kemahasiswaan
yang terkadang membuat gerah para pemangku kebijakan di ranah universitas
maupun di tingkat nasional. Mungkinkah dibalik ini semua ada rekayasa
yang ingin mereduksi peran strategis mahasiswa, sehingga bangsa ini kehilangan
aset-aset strategisnya dan mempu diperbudak oleh political interest tertentu?
Sebagai
contoh sederhana antara lain: kebijakan kenaikan BBM, pemilihan rektor UGM
tahun ini, rencana pengesahan RUU PT, hancurnya tatanan ekonomi global dsb.,
tidak digubris oleh kebanyakan mahasiswa. Sebagian besar mahasiswa lebih asyik
dengan kegiatan akademiknya demi mendapatkan nilai yang bagus tanpa mau
mempedulikan keadaan sekitarnya. Hal ini terbukti dengan sedikitnya jumlah
artikel atau karya ilmiah lain yang dikerjakan mahasiswa untuk membantu
menjawab masalah tersebut. Kepekaan terhadap orang lain mulai sirna
perlahan-lahan dari relung hati mahasiswa. Pragmatis dan apatis menjadi
kata-kata yang dirasa paling tepat untuk menggambarkan keadaan mahasiswa pada
saat ini.
Paradigma
inilah yang menjadi bahaya bagi kehidupan bangsa ini kedepan. Karena,
dimungkinkan bagi orang-orang yang telah terpatri dengan paradigma ini, ketika
mereka menempati suatu posisi strategis tertentu dalam sebuah sistem, yang ada
hanyalah hasrat untuk terus-menerus mempedulikan diri sendiri tanpa memikirkan
keadaan orang lain. Apalagi ketika para mahasiswa tersebut, menempati
posisi-posisi birokrasi strategis kelak. Mahasiswa tersebut hanya akan jadi
penambah kebobrokan birokrasi negeri ini. Bukannya jadi agent of change, tapi
malah menjadi agent of congean[1],
yang tidak lagi mau mendengarkan suara hatinya untuk memperbaiki keadaan saat
ini.
Permasalahan
yang dipaparkan di atas, tidak terlepas dari peran universitas yang saat ini
–disadari atau tidak- memiliki paradigma berpikir “menyiapkan orang-orang yang
siap dipekerjakan bukan menyiapkan orang-orang yang siap berkarya”. Terbukti
dengan begitu bangganya universitas-universitas besar yang mampu menghasilkan
cetakan-cetakan mahasiswa yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar, namun
tidak bangga dengan para mahasiswa yang mau merintis karyanya dari nol.
Mahasiswa disiapkan menjadi profesional-profesional yang mampu bekerja, bukan
profesional-profesional yang siap berkarya, sehingga akhirnya hanya menjadi
kacung saja untuk memperkaya pundi-pundi raksasa para pemegang saham dan
pemegang kuasa.
Mahasiswa
yang notabene mengenyam pendidikan tinggi saja nyatanya tidak benar-benar
terdidik pemikirannya, lalu bagaimana dengan banyaknya rakyat yang tidak dapat
mengenyam pendidikan tinggi? Mahasiswa yang jumlahnya hanya 2%[2]
yang seharusnya mampu memberikan sumbangsih positif dalam mencerdaskan dan
mengembangkan negeri ini saja sudah dirusak oleh sikap pragmatis dan apatis,
bagaimana denga 98% penduduk lainnya? Lalu mau dibawa kemana masa depan bangsa
ini? Kalau kita tidak tergerak untuk melakukan perubahan dan mempertahankan
status quo ini, maka tunggulah kehancurannya. (RM120317)
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar Rum: 41)
“Maka,
Apakah kamu tidak berpikir?”