Hakikat Kesempurnaan
Setiap hakikat yang maujud memestikan
totalitas dirinya, zatnya, dan sifat-sifatnya. Jadi, ketika kita
mengasumsikan hakikat A memiliki sifat-sifat seperti B dan C, maka
hakikat ini dalam zatnya meniscayakan bahwa A adalah tidak nâqish (kurang) dan nâqish
dari A itu sendiri tidak lain adalah bukan A itu sendiri, sementara
kita mengasumsikan bahwa ia adalah A. Dan demikian pula hakikat ini
mesti memiliki sifat-sifat seperti B dan C dari dimensi dirinya adalah
dirinya dan nâqish dari B dan C itu sendiri tidak lain bahwa
tidak tersifati B dan C, sementara kita mengasumsikan tersifati B dan C
dan bukan selain dari mereka. Ini adalah merupakan perkara yang sangat
jelas. Dan ini sesuatu yang merupakan kemestian setiap hakikat dalam
zatnya serta sifat-sifat yang dimilikinya, dan kita menamakan hakikat
ini dengan kesempurnaan.
Selanjutnya, hakikat setiap kesempurnaan
tidak lain adalah sesuatu yang dalam zatnya terkait dengan kait
ketiadaan. Jadi setiap kesempurnaan dalam zatnya memiliki hakikat
dirinya dan tidak ada sesuatu pun yang tak termiliki zatnya kecuali dari
sisi kait ‘adami (ketiadaan) yang secara daruri menyertainya.
Hakikat A, misalnya memiliki sesuatu
yang telah diasumsikan baginya, dan batas pemisah keberadaan sesuatu ini
dari A dengan sesuatu lainnya dari A hanyalah dikarenakan kait
ketiadaan mereka, dan dikarenakan kait ini maka masing-masing dari
keduanya ini tidak memiliki kekhususan sesuatu lainnya. Karena itu, bagi
hakikat A terdapat dua tingkatan: Pertama, tingkatan zatnya, dimana tidak ada sesuatu pun yang hilang dari zatnya dan kedua, tingkatan partikularisasinya, dimana dalam bentuk ini sesuatu akan hilang dari kesempurnaannya.
Dari uraian ini menjadi jelaslah bahwa
hakikat setiap kesempurnaan adalah bentuk absolutnya,
ketakbergantungannya, dan kepermanenannya. Dan kadar kedekatan setiap
kesempurnaan terhadap hakikatnya sebanding dengan kadar zuhur
hakikatnya pada kesempurnaan tersebut; yakni kedekatannya dinisbahkan
terhadap kait dan batas yang menjadi fokus tinjauan. Oleh karena itu,
setiap sesuatu yang kaitnya banyak maka zuhurnya sedikit dan sebaliknya, setiap sesuatu yang kaitnya sedikit maka zuhurnya adalah banyak.
Dari paparan ini menjadi jelaslah bahwa
Allah SWT merupakan hakikat akhir dan final setiap kesempurnaan,
dikarenakan Allah SWT adalah kesempurnaan sejati dan keindahan murni dan
kadar kedekatan setiap eksistensi dinisbahkan kepada-Nya adalah sekadar
batas dan kait ketiadaan yang menyertainya.
Demikian pula menjadi jelaslah bahwa wusulnya (sampainya) setiap eksistensi kepada kesempurnaan hakikinya, merupakan kemestian kefanaan dari eksistensi tersebut; sebab wusul kepada
kesempurnaan hakiki merupakan kemestian dari kefanaan dari kait dan
batas dalam zat atau dalam sifat-sifat. Yakni kefanaan setiap maujud
meniscayakan kebakaan hakikat maujud itu dengan sendirinya. Tuhan
berfirman: : “Semua yang ada (di bumi) akan fana (binasa). Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. Ar-Rahman [55], ayat 26-27)
Kesempurnaan Insani
Kesempurnaan hakiki setiap mumkinul
wujud adalah kefanaan mereka pada-Nya. Dan kesempurnaan hakiki bagi
manusia adalah pemutlakan, pelepasan diri dari seluruh kait-kait, dan
memfanakan diri pada-Nya. Dan bagi manusia tidak ada kesempurnaan
sedikit pun selain dari itu.
Sebagaimana dalam pengetahuan nafs dikatakan bahwa syuhud manusia pada zatnya tidak lain adalah zatnya itu sendiri dan ini adalah syuhud
seluruh hakikat-hakikatnya dan hakikat akhirnya. Dan ketika manusia
memfanakan dirinya, maka dia pada saat yang sama dalam keadaan fana,
juga menyaksikan dirinya. Dengan kata lain, hakikat dirinya tidak lain
adalah syuhud nafsnya dalam keadaan dia fana.
Jadi, kesempurnaan hakiki bagi manusia adalah wusulnya
kepada kesempurnaan hakiki dirinya dari sisi zat, sifat, dan perbuatan,
dimana ini adalah kefanaan zat, kefanaan sifat, dan kefanaan perbuatan
pada Haq SWT yang diibaratkan dengan tauhid zat, tauhid sifat, dan
tauhid perbuatan (ketiga tauhid ini diungkapkan dengan ungkapan laa ilaaha illallah wahdahu, wahdahu, wahdahu). Maqam ini merupakan hasil dari syuhud
manusia dimana dia menemukan bahwa tidak ada satu pun zat, sifat, dan
perbuatan kecuali bagi Haq SWT dengan tanpa masalah ini berakhir kepada hulul (inkarnasi) dan penyatuan, karena Tuhan Yang Maha Suci niscaya bersih dan suci dari kedua perkara ini.
Oleh karena itu, jalan yang paling dekat bagi manusia untuk wusul
kepada kesempurnaan hakiki adalah jalan makrifat nafsnya dan jalan
makrifat nafs ini merupakan jalan penjauhan dan pelepasan diri dari
selain Tuhan dan berpaling secara totalitas kepada-Nya.
Menapak Jalan Kesempurnaan
Jika seseorang mendapatkan syuhud nafsnya maka niscaya dia akan menemukan syuhud Tuhannya (sesuai hadits: Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu). Dan ini merupakan jalan yang terbaik bagi wilayat dan bagi syuhud jamal (keindahan) serta jalal (keagungan) Allah SWT.
Jika manusia ingin menyaksikan dirinya,
jalannya adalah membawa dirinya kepada kepapaan dan kefakiran. Dan
ketika dia telah membawa dirinya kepada kepapaan dan kefakiran maka dia
tidak lagi akan bertumpu pada dirinya dan tidak juga bersandar kepada
orang lain. Tapi perlu diketahui bahwa jalan ini tidak mungkin dapat
dilewati kecuali dengan tauhid. Bahkan pada hakikatnya, jalan wilayat
adalah jalan tauhid. Cara menapaki jalan ini adalah, ketika manusia
menemukan dirinya fakir sejati dan menyaksikan dirinya rabt
(hubungan, relasi, nisbah) murni; bukan suatu zat yang memiliki rabt
maka saat itu dia menemukan bahwasanya Tuhan Yang Maha Suci adalah
ketidakbutuhan (kaya) murni; bukan suatu zat yang memiliki
ketidakbutuhan, dan ketidakbutuhan itu bukanlah sifat yang datang dan
beraksiden kepada-Nya (Wahai manusia! Kamu adalah maujud-maujud
fakir di hadapan Allah dan Allah adalah Maha Kaya lagi Maha Terpuji;
petikan bebas dari salah satu ayat Al-Quran).
Sedemikian hingga manusia mesti
menyaksikan kefakiran murni dirinya dan bukan zat yang memiliki
kefakiran; sebab jika dia adalah zat yang memiliki kefakiran dan
kefakiran ini adalah sifat niscaya baginya, dan karena sifat tidak
berada dalam tingkatan yang disifati (zat yang disifati) maka kemestian
dari ini bahwa manusia dalam maqam zat insan tidaklah fakir. Dan jika
kefakiran tidak punya jalan kepada zat maka zat tersebut adalah kaya dan
berdiri sendiri; sementara manusia secara zat adalah budak dan hamba
Tuhan serta kefakiran murni. Oleh karena itu, ketika manusia menyaksikan
zatnya yang sedemikian ini maka dia akan melihat bahwasanya perbuatan
dan tindakannya fana dalam fâ’il (pelaku) yang mandiri, yakni
Allah SWT. Selanjutnya baginya menjadi jelas bahwa maujud-maujud yang
lainnya juga demikian, tidak ada satu pun di antara mereka yang memiliki
kemandirian. Dan karena mereka tidak mempunyai kemandirian maka fi’il
(perbuatan) mereka juga fana dalam perbuatan Allah SWT. Dengan
demikian, manusia dengan makrifat seperti ini niscaya tidak akan berani
melakukan perbuatan-perbuatan buruk, maksiat, dan dosa. Kata urafa, alam ini seluruhnya adalah mazhar (manifestasi) Tuhan maka janganlah berbuat dosa dan maksiat dalam mazhar Tuhan.
Dan dikarenakan maksiat serta dosa akarnya kembali kepada kekurangan dan ketakberpunyaan, yakni tidak membutuhkan mabda (sumber,
pangkal) zati maka maksiat dan dosa tidak memiliki sandaran kepada
Tuhan Yang Maha Suci dan tidak berakhir kepada Zat Maha Suci Tuhan.
Dengan demikian tersisa perbuatan-perbuatan wujudi, baik, dan sempurna.
Dan perbuatan-perbuatan wujudi, baik, dan sempurna ini merupakan
kekhususan dan terbatas hanya bagi Allah SWT, Zat Yang Maha Kaya.
Sebagaimana telah diisyaratkan
sebelumnya bahwa maksiat dan dosa akarnya kembali kepada kekurangan dan
kefakiran, yakni tidak membutuhkan mabda zati, karena itu
maksiat dan dosa tidak memiliki sandaran kepada Tuhan Yang Maha Suci dan
tidak berakhir kepada Zat Maha Suci Tuhan. Sebaliknya
perbuatan-perbuatan wujudi, baik, dan sempurna merupakan kekhususan zat
suci Haq SWT dan terbatas hanya bagi Allah SWT sebagai satu-satunya Zat
Yang Maha Kaya dan Maha Sempurna, karena itu setiap perbuatan baik yang
muncul dari setiap pelaku mesti fana dalam perbuatan Tuhan dan ini
merupakan asas dari tauhid perbuatan.
Tauhid perbuatan, yakni seseorang
mencapai kedudukan dimana dia memandang seluruh perbuatan-perbuatan baik
dari setiap pelaku, semuanya fana dalam perbuatan Tuhan. Seseorang,
ketika mencapai kedudukan ini, dia akan mengizinkan dirinya berkata,
seluruh alam berada di bawah naungan rububiyyah Rabbul ‘Alamin.
Dirinya, perbuatannya, dan sifat-sifatnya, semuanya merupakan kisah dan
lukisan dari perbuatan dan sifat-sifat perbuatan Tuhan. Dan dia
menyaksikan maujud-maujud lainnya beserta sifat dan perbuatan mereka
juga seperti demikian. Oleh karena itu, ketika dia melihat perbuatannya
fana dalam perbuatan Tuhan dan menyaksikan (musyahadah)
perbuatan pelaku-pelaku lainnya juga fana dalam perbuatan Tuhan, niscaya
dia tidak akan bersandar kepada dirinya dan kepada orang lain. Dia
telah mencapai maqam dimana dia melepaskan segala bentuk sandaran,
termasuk kepada dirinya sendiri dan melihat tidak ada sama sekali
sandaran kecuali bersandar kepada Allah SWT. Dia telah melepaskan
dirinya dari kekurangan ini (bersandar kepada diri dan kepada yang lain
selain Tuhan) dan mencapai tingkatan hanya bersandar kepada Haq SWT.
Ketika telah lewat dari tauhid
perbuatan, yakni fananya seluruh perbuatan dalam perbuatan Tuhan,
seseorang akan sampai pada tauhid sifat, yakni fananya sifat pada sifat
Tuhan. Seseorang, ketika dia belum sampai pada penyaksian sifatnya dan
sifat-sifat maujud-maujud lainnya fana dalam sifat-sifat Tuhan maka pada
hakikatnya dia bukan seorang muwahhid (orang bertauhid)
hakiki. Sebab jika Tuhan memiliki sifat-sifat sempurna dan sifat-sifat
itu tidak terbatas maka tidak ada tempat bagi sifat lainnya di samping
sifat tak terbatas tersebut, meskipun sifat itu terbatas. Jika Tuhan
memiliki ilmu dan ilmu itu tidak terbatas maka tidak bisa dikatakan lagi
bahwa di samping ilmu tak terbatas Tuhan terdapat ilmu-ilmu maujud
lainnya, kendatipun ilmu-ilmu itu adalah terbatas.
Pemikiran yang memandang ilmu Tuhan
tidak terbatas dan ilmu maujud-maujud lainnya terbatas atau ilmu Tuhan
mandiri dan ilmu maujud-maujud lainnya bil-ghair (bergantung
kepada yang lain); adalah suatu pemikiran yang tidak benar; sebab jika
terdapat suatu ilmu yang berhadapan dengan ilmu Tuhan, meskipun ia
terbatas, pada hakikatnya ia telah membatasi ilmu Tuhan. Padahal jika
suatu ilmu tidak terbatas maka ia dengan sendirinya tidak menyisakan
ruang sama sekali bagi keberadaan ilmu lainnya. Karena tidak terbatas,
yakni tidak berakhir dan bertepi. Jika sesuatu tidak terbatas dan tidak
berakhir maka ia tidak mempunyai batas dan akhir dimana kita dapat
mengatakan ini ilmu Tuhan dan ini ilmu selain-Nya. Oleh karena itu,
ketika sifat Tuhan dilihat tidak terbatas maka seluruh sifat-sifat mesti
juga disaksikan fana dalam sifat-sifat Tuhan. Ini adalah fananya
sifat-sifat dalam sifat-sifat Tuhan yang disebut tauhid sifat.
Ketika seseorang dalam tingkatan sifat telah muwahhid,
dimana dia menyaksikan seluruh sifat-sifat fana dalam sifat-sifat Haq
SWT, dia akan beranjak menuju tahap yang lebih tinggi, yakni tauhid zat.
Dalam tahap ini, dia telah mencapai batin alam dan batin agama. Dan
dari batin ini dia juga menyaksikan batin dan kedalaman lain, dimana
tidak lain adalah fana zati, yakni dia menyaksikan tidak ada
satupun zat yang mandiri dan tidak satupun eksistensi yang terpisah. Dia
melihat serta menyaksikan seluruh zat dan eksistensi fana dalam zat dan
eksistensi murni, sebab jika eksistensi Tuhan adalah eksistensi yang
tidak terbatas maka niscaya tidak ada lagi asumsi bahwa terdapat
eksistensi-eksistensi lain yang berhadapan dengan eksistensi tak
terbatas tersebut, apakah mereka itu terbatas ataukah tidak terbatas.
Sebagaimana asumsi terdapat dua eksistensi tidak terbatas adalah suatu
asumsi yang tidak benar maka asumsi terdapat satu eksistensi tidak
terbatas dan eksistensi lainnya terbatas juga adalah asumsi yang salah;
sebab sesuatu yang tidak terbatas niscaya ia tidak menyisakan lagi suatu
kekosongan dimana sesuatu lain yang terbatas mengisi kekosongan
tersebut. Ketika itu dia menyaksikan seluruh eksistensi-eksistensi fana
dalam eksistensi mutlak Hak SWT, seperti gambar-gambar cermin yang
menampakkan dan memperlihatkan eksistensi pemilik zat. Oleh karena itu,
seluruh alam adalah alamat dan ayat-ayat Ilahi. Dan ketika nafs sampai pada kedudukan ini maka tauhid zat telah menjadi bagiannya, yakni ia menyaksikan seluruh zat dan eksistensi fana dalam zat Haq SWT dan ini disebut dengan fana zati. Dan nafs yang sampai pada tahap ini telah sampai pada paling tingginya sair wilayat
(perjalanan wilayat) dan penyaksian, sebab ia tidak melihat lagi
dirinya dan yang lain, ia hanya menyaksikan satu zat dan itu hanya Haq
SWT.
Fana zati tidak bermakna bahwa
manusia hancur dan lenyap, sebab kehancuran, ketiadaan, dan kelenyapan
adalah kekurangan, bukan kesempurnaan; sementara paling tingginya
tingkatan wilayat insani adalah fana zati dan ini
adalah puncak kesempurnaan yang dapat diraih oleh seorang manusia dalam
perjalanan suluknya kepada Haq SWT. Oleh karena itu, fana zati,
yakni ia tidak melihat suatu zat kecuali zat suci dan agung Tuhan. Ia
tidak melihat dirinya, sifatnya, dan perbuatannya, serta ia tidak
melihat irfan dan kemurnian perjalanan suluknya. Sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Sina tentang hal ini, barang siapa menginginkan irfan
untuk irfan maka ia pada hakikatnya telah berpandangan (adanya
keberadaan dan tujuan) yang kedua.
Seorang pesuluk yang telah mencapai muwahhid
dan tauhidnya telah sempurna, dia tidak hanya tidak melihat sesuatu
yang lain, tetapi lebih dari itu dia tidak melihat dirinya dan irfannya,
yang dia lihat hanya ma’ruf (yang dikenal) dan tidak ada yang lain.
Parameter Jalan Menuju Kesempurnaan
Jika kita meneliti kandungan ayat-ayat
Al-Quran dan kandungan riwayat-riwayat manusia suci (Maksumin) serta
mempunyai kontemplasi dan perenungan yang cukup terhadap mereka, maka
kita akan mendapatkan kebenaran masalah ini bahwa ukuran dan parameter
pahala dan dosa, balasan pahala dan siksa akhirat tidak keluar dari
ketaatan dan ‘inad (penentangan) terhadap perintah dan larangan
Tuhan. Jadi sesuatu yang menjadi keniscayaan ajaran dari Al-Quran dan
riwayat adalah, dosa-dosa yang keluar dari anak dan cucu Adam, hatta itu
dosa besar, jika keluarnya dosa-dosa tersebut dikarenakan ketiadaan
pengetahuan dan terjadi dikarenakan kejahilan murni maka mereka itu
tidak akan menyebabkan balasan siksa bagi pelakunya. Sebagaimana ibadah
dan perbuatan yang dilakukan jika tidak dimaksudkan untuk taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Tuhan dan taat kepada-Nya maka
pekerjaan-pekerjaan itu tidak akan membuahkan pahala. Kecuali
ketaatan-ketaatan dan perkara-perkara yang merupakan kemestian secara
zat dari ketundukan dan kepatuhan kepada Haq SWT dimana bentuk ketaatan
dan perkara ini akan mendapatkan pahala, seperti sebagian dari
keutamaan-keutamaan akhlak mulia.
Demikian pula pekerjaan dosa yang
dilakukan seseorang yang tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang
keberdosaan dalam melakukan pekerjaan itu maka ia tidak patut dicela
dan dipandang buruk, tapi seseorang yang mengerjakan perbuatan ketaatan
dengan maksud penentangan dan mempermainkan hak Tuhan maka perbuatannya
itu tidak kosong dari celaan dan keburukan. Oleh karena itu, ukuran
ketaatan dan maksiat seseorang secara bergradasi dilihat dari tingkat
makrifatnya terhadap ketaatan dan penentangan yang dilakukannya. Dalam
riwayat terdapat hadis yang menyebutkan, paling utamanya amal adalah
paling susahnya (dalam mengerjakannya). Dan mizan serta ukuran yang
dihukumi akal terhadap pahala dan dosanya suatu perbuatan adalah
makrifat dan kepatuhan kepada Haq SWT serta makrifat dan penentangan
kepada-Nya.
Dari paparan di atas dapat diketahui
bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia baik di dunia dan terlebih di
akhirat tidak terlepas dari dua perkara tersebut, yakni ketaatan dan inad;
karena itu kepatuhan dan penentangan secara esensial dan bergradasi
memiliki medan yang sangat luas. Dan dari pendekatan ini jelaslah bagi
kita juga bahwa kebahagiaan bagi orang beragama hak (baca; orang muslim)
adalah kesempurnaannya. Adapun mutlak kebahagiaan itu sendiri tidak
terbatas bagi orang beragama hak, akan tetapi orang-orang lain juga akan
mendapatkannya dengan syarat memiliki jiwa ketaatan dan kepatuhan
kepada Haq SWT serta bersih dari sifat penentangan dan inad terhadap-Nya.
Dan ini adalah sesuatu yang dihukumi akal dan terdapat dalam matlab
syariat. Sebab syariat itu sendiri menegaskan perkara-perkara yang akal
hukumi secara rasional dan argumentatif. Sebagaimana dalam hadis dinukil
bahwa Nabi SAW bersabda: “Saya diutus untuk menyempurnakan makârim
akhlak”. Demikian juga terdapat dalam riwayat bahwa Hâtim Thâii
dikarenakan kedermawanannya maka dia tidak akan mendapatkan azab,
sedangkan si fulan dikarenakan keadilannya maka dia tidak akan disiksa.
Kebanyakan ayat-ayat Al-Quran
menjanjikan azab dan siksa bagi orang-orang yang telah sampai dalil dan
penjelasan kebenaran kepada mereka serta hujjah kebenaran telah sempurna
bagi mereka tetapi mereka tetap melakukan penentangan dan pembangkangan
terhadapnya. Dan Al-Quran juga memandang kekafiran itu berkaitan dengan
pembangkangan dan penentangan terhadap kebenaran ayat-ayat Tuhan: “Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka.” Di samping itu Al-Quran memandang satu-satunya ukuran kebahagiaan dan penderitaan, yaitu kebersihan jiwa dan kesucian hati: “Pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
Cara ini adalah cara yang ditarbiyahkan
oleh para nabi dan seluruh agama-agama Ilahi, dan tujuan capaian jalan
ini adalah mutlak kesempurnaan insani di mana ia merupakan teori dan
pandangan para filosof dan urafa Ilahi.(Bersambung)